Ada enam perbedaan yang harus dikemukakan dalam membahas konsep wewenang (authority) (Friedman 1973; Lukes 1978; Raz 1989). Pertama, kegagalan untuk menjelaskan kesatuan dan keteraturan dalam kehidupan sosial dan kepatuhan subyek-subyek semata-mata dengan memakai paksaan dan/atau kesepakatan rasional membuka ruang bagi konsep kekuasaan. Kekuasaan mengacu pada bentuk kepatuhan yang khas dalam kehidupan sosial. Ada tiga pandangan tentang dasar penyesuaian yang sifatnya khusus ini. Salah satunya melihat bahwa lembaga-lembaga kekuasaan adalah cerminan keyakinan umum, nilai-nilai, tradisi dan praktek-praktek anggota masyarakat (Arendt 1963; Parson 1960); yang kedua melihat bahwa kekuasaan politik menyediakan solusi pada sifat negara yang Hob-besian, atau tiadanya nilai-nilai bersama (Hobbes 1651); pandangan ketiga berpendapat bahwa keteraturan sosial bisa saja dipaksakan dengan kekuatan, namun kemapanan dan stabilitasnya didapat dengan teknik-teknik legitimasi, ideologi, hegemoni, mobilisasi bias, konsensus semu dan seterusnya, yang menjamin kesediaan warga untuk menyesuaikan diri dengan memanipulasi keyakinan-keyakinan mereka (Lukes 1978; Weber 1978 [1922]). Kedua, apa perbedaannya kalau misalkan B mematuhi A karena kekuasaan yang berasal dari paksaan dengan kekuasaan dari kesepakatan rasional? Cara paksaan mengamankan kepatuhan B dengan penggunaan kekuatan dan ancaman; cara persuasi membuat B patuh dengan daya tarik argumentasi bahwa tindakan itu adalah untuk kepentingan B dan secara moral benar atau mulia; namun B patuh pada kekuasaan jika B mengakui hak A untuk mengatur B dalam batas tertentu. B secara sukarela menyerahkan haknya untuk memilih secara bebas terhadap evaluasi isi perin-tah A, dan mematuhi karena perintah A datang dari sumber yang tepat dan berada dalam wilayah yang sesuai. Di mana ada kekuasaan di situ ada `pengakuan atas aturan'(Hart 1961) atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang layak menjalankan kekuasaan itu. Ketiga, kita mesti membedakan antara kekuasaan de facto dan kekuasaan de jure (Peters 1967; Wich 1967). Kekuasaan de facto terjadi manakala B mematuhi A dalam bentuk yang sesuai; kekuasaan de jure ada tatkala A memiliki hak atas kepatuhan B dalam wilayah yang diatur melalui aturan kelembagaan tertentu. Bahwa A memiliki salah satu bentuk kekuasaan ini tidak berarti bahwa A tidak memiliki bentuk yang satunya lagi. Keempat, banyak penulis mengacu kekuasaan sebagai penerapan kekuatan yang dilegitimasi'.
Ini bisa berarti bahwa paksaan diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de jure kendati orang yang dipaksa tidak merespon kekuasaan A; atau bisa juga perintah-perintah A menghasilkan bentuk kepatuhan non-koersif yang khusus (dalam hal ini berarti A memiliki kekuasaan de facto) --ini berlawanan sekali dengan kasus di mana kepatuhan didasarkan pada ketakutan. Kelima, dengan demikian kekuasaan adalah konsep yang memiliki makna ganda: ia mengacu pada semacam bentuk pengaruh dan kepatuhan, dan mengacu pula pada sederetan kriteria yang mengidentifikasi siapa-siapa yang menjalankan pengaruh ini. Agar pengaruh itu dapat berlangsung, kekuasaan mesti dijalankan dalam batas-batas normatif yang disepakati semua pihak" (Friedman 1973). Pengaturan normatif ini bisa berbentuk tradisi, praktek, atau sederetan keyakinan bersama (MacIntrey 1967; Winch 1967), atau bisa juga sekedar berbentuk pengakuan bersama bahwa sekumpulan aturan memang diperlukan untuk menghindari kekacauan. Kepatuhan B kepada kekuasaan A memiliki dua bentuk: bisa tanpa pertanyaan (seperti pada tipe 'kekuasaan kharismatik'-nya Weber) atau mungkin juga B bisa mengkritik perintah A, namun tetap patuh karena B mengakui hak A untuk memerintah. kendati ketika B secara pribadi tidak sepakat dengan isi perintah itu. Keenam, lebih jauh lagi, pembedaan dilakukan antara menjadi otoritas (being an authority) dan memegang otoritas (being in authority). Menjadi otoritas adalah masalah keyakinan; sedangkan memegang otoritas adalah masalah tempat A dalam tatanan normatif di mana ia diakui memiliki posisi kekuasaan de jure. Kalau A adalah otoritas, berarti A memiliki atau berhasil mengklaim pengetahuan, kesadaran, keahlian khusus yang membuat B condong tunduk pada penilaian A. Kalau A memegang otoritas berarti ia meng-klaim dan diakui menduduki peran isntitusional khusus dengan wilayah khusus untuk memerintah (sebagaimana otoritas legal-rasioanalnya Weber (1978 [1922]). Kalau B mengikuti penilaian A di mana A adalah otoritas, berarti dalam kepatuhan B terkandung keyakinan akan validitas penilaian A; sementara kalau A sekedar memegang otoritas, B mungkin tidak setuju namun tetap patuh karena B mengakui A sebagai otoritas de jure. Para pemimpin tradisional dan kharismatis menjadi otoritas melalui keyakinan dan nilai; para pemimpin dalam sistem-sistem legal rasional memiliki otoritas dalam wilayah tindakan tertentu saja. Kalau A adalah otoritas, pengaruh A kepada B tergantung pada kesinambungan keyakinan B pada garansi penilaian A. Kalau A adalah pemegang otoritas, A tergantung pada berkelanjutannya pengakuan B bahwa A mengisi nilai fungsi koordinasi. Kedua sistem ini bisa menghadapi krisis legitimasi kalau B tidak lagi percaya pada A, atau tidak lagi percaya bahwa A berhasil mengkoordinasikan. Akan tetapi, kedua sistem bisa mengupayakan keyakinan B lewat berbagai teknik: ideologi, hegemoni, mobilisasi bias, dan seterusnya (Habermas 1976 [1973]).
ARTI, DEFINISI, PENGERTIAN wewenang (authority)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.