Apa itu definisi studi kasus (case study)
Studi kasus digunakan secara luas dan bervariasi di hampir semua disiplin ilmu sosial. Istilah ini mengacu pada prinsip pengorganisasian dan metode penelitian sosial. Secara sederhana, studi kasus menjelaskan setiap bentuk analisis tunggal. Seseorang bisa saja menjadi fokus studi kasus seperti yang terjadi dalam psikoterapi atau ilmu kedokteran, dan demikian pula halnya dengan sebuah organisasi, kelompok, peristiwa tertentu, ataupun suatu proses sosial. Unsur terpenting di sini adalah studi kasus itu terfokus pada fenomena sosial yang bersifat alamiah, dan bukannya pada suatu kegiatan atau sampel terpilih yang sengaja dikonstruksikan untuk keperluan eksperimental. Bertolak dari itu Smith (1990, 11) menulis tentang penelitian edukasional sebagai berikut: Penekanan relatif dari apa yang saya sebut sebagai kelompok bahasan "Iangsung", "alamiah", atau "yang tengah berlangsung" versus subjek analisis yang terdiri dari sampel tertentu, misalnya berupa sekelompok pelajar, guru-guru, kelas-kelas, kuri-kulum atau sekolah, sangatlah penting.
Saya percaya bahwa perbedaan itu melandasi pengertian studi kasus, yang memang seharusnya berfokus pada "kasus". Kasus-kasus, umumnya tidak dapat diseleksi berdasarkan kriteria tertentu melainkan harus dipilih berdasarkan relevansi atau arti penting teoritisnya atau kesesuaiannya dengan tujuan kritis yang hendak dilakukan dalam suatu penelitian. Studi kasus mementingkan kedalaman, dan secara lebih spesifik ia harus holistik dan menyeluruh. Tujuannya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Geertz (1973), yakni "Deskripsi kental" yang sangat diperlukan untuk memahami suatu konteks atau situasi. Dalam studi kasus, sejumlah data eklektik tertentu dikumpulkan dan dipadukan dalam proses analisis, serta disajikan sedemikian rupa untuk mendukung tema utama yang tengah diteliti. Jika perlu dan memungkinkan, para peneliti harus turun tangan sendiri ke lapangan untuk melakukan riset studi kasus tersebut. Data yang terkumpul harus berasal dari sumber pertama, atau pertemuan tatap muka dengan subjek yang diteliti. Di sini peneliti juga perlu berbagi pengalaman dengan objek yang diteliti, untuk memperoleh informasi dari tangan pertama sekaligus untuk memungkinkan mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling relevan. Rancangan dan pelaksanaan studi kasus harus bersifat responsif dan kreatif sesuai dengan bentuk ritme dan kemungkinan yang ada di lapangan. "Setiap studi kasus merupakan suatu konstruksi tersendiri sebagai suatu produk interaksi antara responden, lapangan penelitian, dan para peneliti itu sendiri" (Lincoln dan Guba, 1990; 54).
Kekhasan itu biasanya tercermin dalam bahasa yang digunakan laporan studi kasus. "Studi kasus secara retorik akan menonjolkan keterlibatan antar pribadi sebagai ciri khas penelitian" (Lincoln dan Guba 1990;59). Hal ini kontras dengan laporan ilmiah urnumnya yang bersifat datar, dingin dan bahkan kaku atau kering. Studi kasus sengaja ditulis untuk menarik perhatian dan berupaya menggambarkan situasi tertentu sealamiah mungkin sehingga para pembaca dapat memperoleh kesan yang lebih kaya dari tulisan itu. Validitas riset studi kasus sering dilakukan atas dasar keterbatasan generalisasinya (Bolgar, 1965; Shaunhessy dan Zechmeister, 1985), meskipun dalam beberapa hal keraguan atas kelemahan generalisasi itu sendiri bersumber dari kesalahpahaman atas kegunaan yang sesungguhnya dari riset studi kasus. Studi kasus memang tidak didasarkan pada generalisasi atau abstraksi ataupun untuk membuktikan hubungan kausalitas yang baku. Hal tersebut lebih dimaksudkan untuk mengungkapkan kompleksitas atau aspek-aspek sampingan dari suatu hal, dinamika, saling keterkaitan, atau sekedar nuansa tambahan atas suatu obyek yang tengah diteliti. Namun evolusi pen-dekatan dan adanya motif untuk membela penggunaan studi kasus dari kritik-kritik semacam itu telah memunculkan apa yang disebut sebagai "partikularisme radikal" dalam rancangan dasar riset sudi kasus. Perkembangan itu tampak menonjol pada beberapa bidang studi dalam ilmu sosial. Hal itu pula yang kemudian memunculkan rancangan riset studi kasus majemuk yang prosedur pengumpulan data dan pengkajiannya lebih kompleks daripada sebelumnya. Dalam studi kasus model ini perhatian ditujukan pada isu tertentu di berbagai setting atau lokasi, dan data-data yang dikumpulkannya pun sejenis agar peneliti dapat melakukan perbandingan dan menerapkan prosedur analitis yang sama. Firestone dan Herriot (1984) telah menelaah 25 studi kasus jenis baru tersebut, yang masing-masing melibatkan banyak setting atau lokasi yakni dari tiga hingga enam-puluh lokasi yang berbeda. Baik jumlah atau heterogenitas lokasi atau setting itu sengaja diperbanyak demi menciptakan peluang generalisasi yang lebih besar.
Namun sesungguhnya perkembangan ini telah menyebal dari hakikat studi kasus itu sendiri, mengingat studi kasus haruslah mementingkan kedalaman ketimbang keluasan analisis. Jika perkembangan seperti ini terus berlanjut maka studi kasus baru itu pun tidak ubahnya dengan penelitian biasa sehingga kekhasan atau kelebihan yang dikandung studi kasus tradisional justru hilang. Pertanyaan penting yang harus dijawab di sini adalah apakah kedalaman yang dikorbankan itu sepadan dengan keluasan analisis superfisial yang diperoleh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.