Kamis, 28 Juni 2012

DEFINISI - ARTI - PRENGERTIAN AGRESI

Meski hampir semua teori agresi dikembangkan pada abad ke-20, isu konsep dasar dan perdebatannya telah ada iauh sebelum abad ke-20. Argumen terkini tentang sejauh mana agresi punya akar biologis dalam diri manusia pada dasarnya adalah argumen yang diambil dari buku Leuiathan karya Thomas Hobbes dan dari pemikiran filsuf liberal Jean-Jacques Rousseau. Freud (1920), misalnya, dalam kerangka psikoanalitisnya mengulang kembali banyak ide orisinal Hobbesian tentang brutalitas manusia terhadap sesamanya. Gagasan ini juga meniadi model bagi kajian berikutnya yang muncul di bidang lain, yakni etologi oleh Konrad Lorenz (1,9661dan aliran neo-Darwinian. Pendekatan tersebut, yang fokus pada asumsi sederhana tentang mekanisme naluriah, kini sudah tidak dipakai lagi dalam menielaskan agresi, meski pendekatan ini masih diulas di beberapa buku teks utama. Aspek karya Freud yang difokuskan pada agresi itu dianggap sebagai usaha yang terlalu terburu-buru untuk menutupi kelernahan pendekatan teoretisnya, yang didasarkan pada prinsip kesenangan untuk menjelaskan proses psikologis dan perilaku manusia. Perang Dunia I yang berdarah-darah rnembutuhkan model penjelasan yang amat berbeda, maka muncullah model tbanatos, atau naluri kernatian: "Sebagai akibat dari sedikit spekulasi, kita menduga bahwa naluri ini ada di dalam seriap makhluk hidup dan naluri ini terus bekerja untuk meruntuhkan dan mengurangi kehidupan ke asal usulnya sebagai materi tak bernyawa." Kesulitan utama dalam teori insting awal ini adalah gagasan utama tentang "spontanitas. " Menurut teori ini, agresi bukan hanya secara genetis sudah terpasang dan karenanya tidak bisa dihilangkan, tetapi juga muncui dalam bentuk dorongan yang harus dipenuhi, disalurkan atau digantikan. Ekspresi agresi adalah sesuatu yang tak terelakkan, entah itu dalam bentuk VlolrNca (kekerasan) personal, atau dalam bentuk lain yang lebih bersifat tak langsung. Penekanannya adalah pada kebutuhan untuk menyalurkan dorongan yang bersifat hidrolik ini, bukan pada cara untuk mengurangi dorongan tersebut. Pertandingan olahraga dan kompetisi fisik dianggap sebagai unsur penring dalam mengontrol agresi pria yang "alamiah" ini. Pandangan ini menladi salah satu dasar sistem sekolah publik di Inggris. Pandangan tersebut, sebagaimana aspek dari banyak teori psikologi awal, telah digabungkan dengan pemikiran "representasi sosial" dari agresi dan kekerasan. Tetapi penielasan modern atas agresi di dalam ilmu-ilmu sosial pada akhirnya menghindari semua gagasan tentang faktor genetika dan biologis. Mayoritas karya yang diterbitkan pada 1950-an lebih rnenekankan pada peran pembelaiaran (learning), kondisi sosial dan deprivasi sosial. Asumsi dasarnya adalah agresi merupakan sebentuk perilaku (behauiour), bukan dorongan psikologis, dan, sebagaimana bentuk perilaku lainnya, ia dapat dimodifikasi, dikontrol, dan bahkan dihilangkan. Ini tampak jelas dalam karya psikologi berbasis laboratorium seperti Bandura (1973) dan dalam pendekatan sosiologis dari penulis yang berbeda-beda seperti Wolfgang dan 'Weiner (1982) dan Downes dan Rock (1979), Kita menemukan penekanan yang serupa pada pemahaman "liberal" atas agresi dalam antropologi sosial pascaperang dengan perhatian utama pada upaya menemukan masyarakat yang damai dimana agresi tidak eksis-jadi menolak asumsi adanya determinan genetik. Usaha itu pada umumnya kurang meyakinkan. Seperti ditunjukkan Fox (1968), pandangan naif tentang Manusia Semak Kala-hari sebagai suku yang bebas dari agresi tidak didukung bukti kuat sebab ada bukti bahwa tingkat pembunuhan yang mereka lakukan lebih tinggi ketimbang tingkat pembunuhan di Chicago. Pada tingkat tertentu, penolakan atas teori agresi biologis bukan hanya karena ada kelemahan nyata dari teori ittr tetapi juga karena munculnya isu "political correctness" dalam debat di dalam ilmu sosial. Orang tidak dapat disebut secara natural agresif karena itu berarti bahwa kekerasan dan destruksi tidak akan pernah bisa dihapuskan, dan pandangan ini tidak cocok dengan semangat (Zeitgeist) intelektual kontemporer. Polarisasi baru ini, dan debat nature-nurture yang sengit, yang telah menyibukkan sebagian besar abad ke-20, mungkin menyebabkan tidak munculnya pemahaman agresi yang "bijaksana" (sensible). Marsh (1978, 1982) mengatakan bahwa debat antara argumen bahwa agresi punya akar biologis atau bahwa agresi itu dipelajari, sebenarnya merupakan argumen yang kurang relevan karena (a) kedua argumen itu benar, dan (b) prognosa modifikasi perilaku tidak banyak berbeda dalam kedua kasus itu. Di sini bisa dipakai analogi perilaku seksual. Jelas bodoh jika kita berasumsi bahwa seksualitas manusia tidak punya akar genetik, biologis, dan hormonal. Tetapi, perilaku seksual sebagian dikontrol oleh kerangka aturan kultural dan sosial. Orang pada umunnya tidak menyalurkan hasrat seksualnya secara ngawur dan spontan-mereka harus tunduk pada konvensi sosial dan ketentuan ritual. Semua kebudayaan menyusun "solusi" yang memaksimalkan keuntungan seksualitas dan menghambat konsekuensi negatifnya. Dalam ilmu sosial, pandangan bahwa agresi memiliki nilai positif telah makin ditinggalkan. Banyak definisi agresi dewasa ini tidak mencantumkan kemungkinan adanya aspek positif itu. Dalam psikologi, definisi yang paling dominan adalah "Tindakan intensional yang diniatkan untuk mengganggu orang lain yang termotivasi untuk menghindarinya." Dalam bidang ilmu sosial lain, agresi kerap dilihat sebagai tindakan "maladaptiue" atau respons yang patut disayangkan terhadap kondisi patologi sosial (lihat iuga Cnrur: AND DEVIrNce). Hanya dalam bidang seperti sosiologi Marxis sajalah kita dapat menjumpai pandangan bahwa agresi adalah sebentuk tindakan yang rasional dan dapat dilustifikasi. Tetapi dalam diskursus sehari-hari, jelas bahwa agresi dilihat dalam konotasi positif dan peyoratif. Dalam dunia olah-raga kita umumnya memuii atlet yang berlari secara agresif dalam lomba lari cepat, atau kita menghargai pemain bertahan yang agresif dan berani. Dalam arena ini, agresi bukan hanya diperbolehkan, tetapi. juga merupakan unsur penting. Demikian pula, agresi dalam dunia bisnis menjadi tanda dari pengusaha yang hebat. Tanpa pengusaha yang agresif itu Inggris di era pasca Tatcherite dan Amerika Serikat abad ke-20 akan layu dan mati. Tak heran iika penulis seperti Bandura (1973) menyebut bidang agresi sebagai "hutan semantik." Dengan adanya ratusan defEnisi agresi di ilmu sosial, tidak heran iika muncul kebingungan besar dan argumen yang tak perlu dalam perdebatan ini. Pendekatan yang lebih menlanjikan adalah pendekatan yang meninggalkan debat nature-nurture dan lebih fokus pada pemahaman atas bentuk-bentuk spesifik dari perilaku agresif dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Analisis terhadap kerangka sosial yang mendorong atau menghambat tindak agresi juga terbukti bermanfaat untuk menjelaskan fenomena sosial seperti rooLiganisme sepak bola (Marsh, 1978), kekerasan terhadap wanita (Campbell, 1982), kekerasan politik yang ekstrem Billig, 1978), dan sebagainya. Karya yang nengkaji peran mekanisme psikologis spesrtik (seperti Brain, 1985) juga memberi sumbangan pada debat yang lebih rasional di mana hanya ada sedikit hambaran untuk mengkaji hubungan timbal balik yang kompleks antara faktor biologis dan sosial. Entah itu kita memandang agresi sebagai patologi yang bisa dielakkan atau sebagai unsur manusia yang tak bisa terhapuskan, pemahaman kita tentang fenomena ini akan meningkat hanya jika fokus kita adalah pada mengapa individu tertentu dalam konteks sosial tertentu menuniukkan sikap antipati ekstrem terhadap orang lain dalam rangka mencapai .tuiuannya atau dalam rangka mengeiar prestise dan status sosial.

Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 99 user reviews.
Author:

Terimakasih sudah berkunjung di blog SELAPUTS, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

  © Blogger template Noblarum by Ourblogtemplates.com 2021

Back to TOP  

submit to reddit