Senin, 17 Januari 2011

AWAL MULA MENGATASI AGRESI DAN AMARAH (AGGRESSION AND ANGER)

Para ahli teori biologi/insting, psikoanalisis, ethologi, social learning dan kognisi sama-sama telah memperdalam pemahaman kita mengenai agresi. Minat studi tentang agresi itu sendiri nampaknya didorong oleh semacam keprihatinan atas adanya kapasitas manusia untuk menyebabkan manusia lain menderita clan oleh kecemasan akan masa depan umat manusia. Kendati hampir semua orang mengakui adanya kemajuan di bidang ini, pencapaian aktual para ilmuwan sosial itu hingga hari ini dipandang masih ter batas. Sebab-musabab keterbatasan itu adalah masih kurangnya minat mereka sendiri. Marsh dan Campbell (1982) menempatkannya sebagai salah satu faktor penghambat, di samping kesukaran dalam mempelajari agresi, baik di laboratorium maupun dalam kenyataan, dan terkotak-kotaknya dunia akademis, sehingga para peneliti gagal melewati batas-batas yang memisahkan antara psikologi dan sosiologi, psikologi dan antropologi, atau bahkan antara sub-sub bagian dalam psikologi itu sendiri. Ada dua masalah yang lebih mendasar lagi yang menghalangi kemajuan tersebut. Pertama adalah kesukaran dalam mencapai definisi tentang agresi yang bisa diterima bersama, dan kedua adalah terlalu inklusifnya teori-teori itu sendiri. Hal yang paling diperlukan di sini adalah terciptanya definisi yang memadai untuk membedakan antara agresi dan kemarahan serta rasa permusuhan. Kemarahan mengacu kepada suatu bentuk rangsangan emosi, yang biasanya disertai perubahan wajah dan syaraf-syaraf otonom. Seseorang bisa saja marah tanpa menimbulkan perilaku merusak dan demikian pula sebaliknya. Permusuhan mengacu kepada penilaian kognitif/ evaluatif terhadap orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Jadi tidak mustahil menilai secara amat negatif kelompok tertentu dalam masyarakat tanpa membangkitkan kemarahan dan agresi, kendati dalam banyak kasus kognisi dan afeksi terkait secara erat sekali (lihat uraian di bawah). Agresi itu sendiri mengacu kepada perilaku berlebihan, kendati apa-apa saja perilaku yang tergolong agresif masih diperdebatkan. Bandura (1973) mengajukan jalan pintas untuk memo-tong rimba semantik dalam bidang ini, yakni dengan membatasi istilah ini untuk tindakan-tindakan yang menyebabkan terlukanya orang lain atau rusaknya barang-barang, kendati ia menerima bahwa luka itu sendiri bisa bersifat fisik maupun psikologis. Jadi masih ada persoalan dalam mendefinisikan masalah luka dan membedakannya dengan agresi yang sifatnya 'kecelakaan' (luka terjadi tanpa disengaja) dan agresi yang isalah sasaran' (misalnya ketika seseorang menembak dan salah mengenai sasaran). Definisi mengenai tindakan VJI19 tergolong agresif menyangkut juga penilaian masyarakat di jIihak si pengamat. Karen,1 tindAkan-tindakan aggression and anger vang melukai mungkin tidak dicap sebagai agresif jika secara sosial diterima, atau bahkan dianjurkan (misalnya, hukuman fisik bagi pelaku kriminal) atau jika mereka didukung nilai-nilai yang dianut si pengamat (sebagai contoh, seorang ay:-‘1-1 yang memukul anaknya untuk mengajarkan hukum Tuhan).

Dalam pengertian ini, cap terhadap suatu perilaku agresif mau tidak mau mengandung dimensi sosial dan politik. Kesulitan kedua terletak pada luasnya cakupan tindakan yang dituju oleh hampir semua teori agresi. Menusuk seseorang dalam perkelahian, memukul anak-anak, memicu keributan atau memancing perang urat syaraf secara sosial dipandang bisa digolongkan tindakan yang termasuk dalam definisi agresi, tapi tindakan-tindakan tersebut hampir bisa dipastikan tidak memiliki penafsiran tunggal. Hal ini tidak seyogyanya, kendati sering, menyebabkan terhentinya usaha mencari teori yang lebih umum yang dapat memberi penjelasan yang lebih komprehensif. Berbagai teori yang ada masih harus disempurnakan agar bisa mencakup berbagai bentuk perilaku agresif itu. Dewasa ini sudah ada perangkat untuk membedakan hal-hal tersebut — misalnya antara `kemarahan dan agresi instrumental' atau apa yang disebut agresi yang dimotivasi oleh kejengkelan' (annoyence-motivated) dan agresi yang 'dimotivasi oleh insentif' atau untuk mencapai tujuan tertentu (incentive-motivated) (Zillman 1979). Banyak agreasi yang didorong oleh rangsangan afektif. Ini adalah jika seseorang berada dalam keadaan emosi, yang secara psikologis aktif, karena frustasi terhadap kondisi lingkungan.

Pada agresi instrumental, tindakan agresi digunakan sebagai cara untuk memperoleh sebagian dari keuntungan lingkungan dan aktivitas emosinya tidak semestinya terjadi, seperti dalam kasus orang merampok bank. Dua golongan agresi ini tidak sepenuhnya bebas, karena dorongan lingkungan juga berperan dalam agresi kemarahan, kendati keuntungan yang diperoleh tampaknya harus dibayar dengan menyakiti orang lain atau melukai diri sendiri. Banyak sumber agresi instrumental yang telah didokumentasikan dalam riset psikologi. Sebagian dari perilaku agresif malah dibenarkan secara sosial lantaran hal itu merupakan cara yang ampuh untuk meraih keuntungan-keuntungan dari lingkungan. Jenis agresi yang secara intensif, dan berbagai modelnya telah dirumuskan (untuk ulasannya , lihat Bandura 1973). Dampak kuat tekanan penguasa bagi yang dikuasai agar patuh acapkali berperan dalam menyulut keberingasan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium. Dalam beberapa tahun terakhir, telah tumbuh kembali minat untuk mempelajari amarah dalam bentuk agresi, dan topik inilah yang perlu kita bahas lebih lanjut. Amarah berupa agresif mer-upakan bentuk penting dari sebagian besar kekerasan yang menimbulkan keprihatinan sosial. Studi-studi tentang pembunuhan manusia, sebagai contoh, mengisyaratkan bahwa tindak kekerasan acapkali merupakan jawaban atas rangsangan kemarahan yang bertubi-tubi. Orang yang melakukan kekerasan sering dikatakan ‘kalap' atau 'naik pitam', dan dalam kebanyakan kasus amarah itu ditujukan kepada orang yang dekat hubungannya dengan pelaku (istri atau suaminya). Kemarahan bisa juga melibatkan bentuk-bentuk kekerasan yang lebih tidak kentara. Sebagai contoh, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para pemerkosa sering menunjukkan bentuk-bentuk kemarahan agresif. Banyak pemerkosa dalam keadaan marah/frustrasi sebelum melakukan tindakan tersebut dan tindakannya itu lebih ditu-jukan untuk merendahkan korban ketimbang untukmemperoleh kepuasan seksual (Groth 1979).

Riset tentang amarah Hingga awal 1980-an, masih sedikit perhatian ilmuwan sosial yang ditujukan terhadap efek kemarahan ketimbang perwujudan-perwujudan langsung dalam bentuk perilaku. Kemarahan telah dibahas secara luas oleh para filsuf dan penyair, tetapi jarang oleh para psikolog ekperi-mental. Bangkitnya kembali minat terhadap aspek penggejalaan agresi timbul sebagian karena munculnya upaya pemahaman-kembali atas emosi dalam ilmu psikologi dan juga karena perkembangan-perkembangan di bidang kognisi dan hubungannya dengan afeksi. Kemarahan dipandang memiliki empat unsur — lingkungan, kognisi, rangsangan emosional psikologis, dan perilaku itu sendiri, dan unsur-unsur ini saling berinteraksi dalam pola vang kompleks (Novaco 1978). Pertama telah menjadi fokus penclitian eksperimental. Kemarahan dan kemarahan agresif umumnya terjadi dengan pemicu peristiwa di lingkungan sekitar. Ada sekian teori yang mencoba nnem-beri penjelasan (contohnya teori frustrasi-agresi). Berkowizt (1982) secara persuasif menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa di lingkungan bisa membangkitkan agresi sejauh hal itu aversif. Jadi kalau imbalan yang diharapkan tidak diperoleh atau dihalangi, maka tindakan yang tujuannya agresif itu akan terpicu karena orang yang bersangkutan merasa tidak senang. Oleh karena itu, orang yang mengalami kegagalan, dihinakan, diperlakukan tidak adil, atau hak miliknya dirampas akan rawan dan mudah untuk terpancing amarahnya, dan agresif. Berkowizt mengisyaratkan bahwa manusia dan hewan sama-sama dilahirkan dengan dorongan untuk lari atau melawan jika berhadapan dengan rangsangan aversif. Reaksi yang timbul bergantung kepada pengalaman yang pernah dipelajari (misalnya, terbang mungkin dipandang lebih efektif) dan sifat dari situasi khusus itu (situasi di mana orang menduga akan bisa memegang kendali lebih memungkinkan terjadinya perkelahian). Sejalan dengan tesis Berkowizt bahwa keaversifan adalah unsur yang penting, studi-studi laboratorium dan lapangan menunjukkan, sebagai contoh, bahwa rasa sakit adalah pembangkit potensial terhadap kemarahan agresif. . Bau-bau tidak sedap, bentuk-bentuk memuakkan dan suhu yang tinggi juga terbukti dapat memicu agresi, dan dalam hal ini hubungannya berbentuk kurva linier. Studi-studi terhadap buku harian (diary studies) untuk mengungkap apa yang membuat orang marah dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya membenarkan pentingnya peristiwa-peris-tiwa aversif/frustatif tapi juga mengisyaratkan bahwa ada suatu bentuk kemarahan yang tidak muncul dalam studi-studi laboratorium — yakni yang dipicu terutama oleh peristiwa-peristiwa interpersonal. Yang membuat kita marah adalah orang-orang lain, bukan benda-benda atau hal-hal yang impersonal. James Averill (1982) menemukan bahwa orang-orang yang dilaporkan marah dalam kadar ringan atau sedang, karena orang lain, dan umumnya perlu waktu mulai dari beberapa saat sehari hingga beberapa kali seminggu untuk mengendapkan amarah. Hanya 6 persen kasus, amarah dipicu oleh obyek tidak bergerak. Separuh adalah orang yang menyebabkan frustrasi adalah orang yang dikenal dan disukai teman-teman dan orang yang dicintai merupakan sumber terbesar pengalaman aversif. Komponen kedua dari kemarahan adalah proses kognitif dari peristiwa sosial dan internal. Perhatian para ahli teori kognitif umumnya tercurah pada cara orang menilai, menafsirkan dan membangun lingkungan sosialnya. Teori atribusi (keterkaitan) telah menjadi kekuatan pokok dalam teori kognitif, dan proses-proses atribusional dewasa ini diakui secara luas sebagai hal yang relevan terhadap kemarahan agresif. Proses-proses semacam itu paling tepat dilihat sebagai perantara antara respon-respon emosi-onal dan perilaku terhadap peristiwa-peristiwa aversif/frustatif yang dijelaskan di atas. Kekuatan dari atribusi-atribusi bisa ditakar dengan menilai perbedaan konsekuensi emosional dan perilaku dari berbagai atribusi untuk sebuah kejadian, seperti tertabrak sepeda dalam perjalanan pulang dari kantor. Kejadian yang menyakitkan dan aversif ini bisa dikaitkan dengan siklus kesiagaan seseorang (`saya sedang tidak memperhatikan jalan') atau dengan peluang (jumlah mobil dan sepeda yang mau tidak mau membuat orang tertabrak). Secara intuitif, tidak satu pun kaitan-kaitan ini yang bisa menimbulkan respon agresif. Akan tetapi, andaikata dimunculkan kaitan bahwa pengemudi mobil secara sengaja telah menabrak sepeda saya, maka agresi pun timbul. Ambang kemarahan, paling tidak terhadap pengemudi mobil itu, bisa diduga akan menurun oleh penilaian yang lebih baik (mungkin ia tak sengaja). Atribusi maksud jelek semacam ini telah terbukti penting untuk menjelaskan kemarahan dan agresi (lihat Ferguson dan Rule 1983). Komponen ketiga dan keempat dari kemarahan adalah rangsangan emosional atau psiko-logis serta tindak agresi yang menyertai atau tidak menyertai ransangan kemarahan itu. Tidak bisa tidak, kemarahan selalu disertai dengan giatnya sistem otonom tubuh (meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nafas, tegangan otot, dan seterusnya), namun belum jelas apakah pola aktivasi itu bisa dibedakan dengan rangsangan yang ditimbulkan emosi-emosi lain. Hampir semua peristiwa kemarahan dalam kehidupan sehari-hari tidak disertai agresi fisik. Averill (1k)S2) menemukan bahwa peristiwa amarah yang membangkitkan agresi fisik jumlahnya kurang iari 10 persen-Apa yang ia namakan reaksi-reaksi , Yakni kegiatan kegiatan yang bertolak belakang dengan dorongan kemarahan, seperti bersikap amat manis kepada orang yang menyebabkan kemarahan itu, dua kali lebih banyak ketimbang agresi fisik. Kemarahan bisa menimbulkan sederetan reaksi lain — pengalaman orang itu sebelumnya jelas sangat penting dalam menentukan apakah frustasi dan amarah akan mendorong penarikan diri, pencarian pertolongan, penyelesaian masalah secara konstruktif, atau melakukan apa yang oleh Bandura (1973) disebut "swa-anestesi lewat obat terlarang atau alkohol". Pengaruh dua arah timbal-balik antara kom-ponen-komponen amarah telah diajukan oleh Navaco (1978) dari penelitiannya. Kognisi bisa memacu amarah dan agresi, namun perilaku agresif mungkin juga mengancam kognisi-kognisi itu sendiri dan selanjutnya mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga orang tersebut tambah frustrasi. Pandangan yang bermusuhan terhadap orang lain acapkali terwujud dalam kenyataan. Menguraikan proses saling keterkaitan antara unsur lingkungan, kognitif, psikologis dan perilaku ini merupakan tugas utama bagi para peneliti agresi di masa mendatang.

Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 99 user reviews.
Author:

Terimakasih sudah berkunjung di blog SELAPUTS, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

  © Blogger template Noblarum by Ourblogtemplates.com 2021

Back to TOP  

submit to reddit