DEFINISI ekonoMi pertanian (agricultural economics)
Konseptualisasi formal bidang pertanian dalam teori ekonomi untuk pertama kalinya dilakukan oleh para fisiokrat, atau kbih spesifik lagi, oleh Quesnay, dengan bukunya yang berjudul Tableau Economique, yang membuat model aliran ekonomi antara berbagai sektor di masa kebangkitan industrialisasi di Perancis. Bidang pertanian dinyatakan sebagai satu-satunya sektor yang produktif, lantaran hanya di bidang pertanian itulah reproduksi dilipatgandakan seperti halnya padi-padian. Em-brio sektor manufaktur dipandang sekedar mengubah produksi pertanian ke bentuk barang-barang jadi atau rakitan, dan diasumsikan bahwa proses ini tidak menghasilkan nilai tambah ekonomis.
Pandangan yang bertolak-belakang dikemukakan oleh para ahli ekonomi politik klasik Inggris. Kunci dari pemikiran sebaliknya yang dirintis oleh David Ricardo adalah bahwasanya naiknya permintaan akan makanan akan mem-perluas daerah penananam di lahan-lahan yang kurang subur dan menaikkan harga padi-padian serta sewa lahan pada semua lahan non-marjinal. Rasa pesimis Ricardo atas perkembangan teknologi mau tidak mau menghasilkan deduksi bahwa tingginya sewa tanah akan mengikis porsi keuntungan dalam produk nasional. Konseptualisasi proses ekonomi yang semacam ini menjadi landasan teoretis dari para ekonom klasik yang menganut bias anti-tuan tanah. Sebagai pengecualian adalah Malthus, yang berpendapat bahwa bidang pertanian bukan hanya penghasil makanan bagi sektor industri, namun juga sangat penting dalam menciptakan permintaan akan produk-produk manufaktur. Dari akar ekonomi politik klasik yang sama lahir dua sistem teori ekonomi pertanian: Marxis dan neo-klasik. Kaum Marxis memusatkan perhatian pada analisis tentang peran bidang pertanian dalam masa transisi antara mode produksi feodal ke kapitalis, sebuah proses yang ditandai dengan akumulasi modal dan transfer surplus yang primitif dari sektor-sektor pra-kapitalis, yang kebanyakan bersifat agraris, menuju sektor-sektor kapitalis, yang kebanyakan adalah industri. Baik pendekatan klasik maupun Marxis menganalisis sektor pertanian dalam kerangka makroekonomi, dengan menelaah posisi struk-tural dan peran fungsional dari bidang pertanian dalam kaitannya dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian secara nasional; keduanva mene-kankan pentingnya pembentukan dan ekstraksi dari surplus pertanian — dalam bentuk pangan, makanan dan tenaga kerja bagi sektor industri — bagi proses industrialisasi Keduanya sama-sama, kendati dalam derajat yang berbeda, memperlakukan dinamika dimensi-dimensi hubungan produksi dan organisasi daerah pertanian sebagai bagian yang perlu dianalisis. Karena itu sektor pertanian dan industri diperlakukan sebagai dua sektor terpisah, yang ditandai dengan perbedaan internal dalam kondisi-kondisi teknologi dan produksi, organisasi sosial dan politik, dan peran fungsionalnya dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pecahan kedua dari ilmu ekonomi klasik, yakni neo-klasik, kini menjadi arus-besar disiplin ilmu ini, dan ilmu ekonomi pertanian (seperti didefinisikan dalam kurikulum di hampir semua universitas) memiliki hubungan amat dekat dengan metoda serta skenna teori neo-klasik. Bertolak belakang dengan tradisi-tradisi keilmuan lainnya, ilmu ekonomi pertanian neo-klasik lebih memusatkan diri pada masalah-masalah mikro-ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi statis dari penggunaan sumber daya dalam pro-duksi pertanian. Perhatian khusus ilmu ini adalah soal-soal spesifik seperti pilihan produk-produk yang memberi hasil optimal dan perumusan kombinasi input terbaik untuk memproduksinya. Dengan demikian, masalah pokok dalam ekonomi pertanian direduksi menjadi bagaimana memaksimalkan keuntungan pada setiap petani yang memiliki sumber-sumber daya dan teknologi tertentu dan dalam lingkungan ekonomi yang ditandai dengan kompetisi sempurna di semua pasar input dan outputnya. Di sini tidak ada analisis mengenai struktur hubungan produksi dan organisasi agraris atau transformasinya dalam menghadapi rangsangan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya hubungan-hubungan produksi, misalnya petani penyewa lahan, dianalisis secara khusus dari sudut dampak yang ditimbulkannya terhadap keuntungan, melalui faktor-faktor pendorong (atau penghambat) efisiensi alokasi yang dilakukan oleh para pengambil keputusan atas sumber-sumber daya yang tersedia. Dalam kerangka semacam ini, terjadi semacam plethora dari studi-studi lapangan yang mempertanyakan: apakah para petani cukup efisten dalam menggunakan sumber-sumber dayanya? Metodologinya pun memasukkan asumsi adanya kompetisi sempurna, dan dengan demikian menurunkan semacam taksiran ekonottietrik — clengan menggunakan data silang dari sekelompok petani tentang fungsi produksi, biasanya dengan tipe Cobb-Douglash. Dalam paradigma ini tips sederhana atas kesesuaian antara produktivitas marjinal dari masing-masing faktor produksi yang ditaksir itu dengan harga relatifnya (yang terkait dengan besarnya output) akan menghasilk.an kesimpulan apakah keputusan yang diambil telah efisien atau tidak. Kerangka analisis ini pada awalnya dimunculkan dalam perdebatan mengenai sistem-sistem sewa lahan di Amerika Selatan, tapi kemudian diperluas dalam konteks mutakhir pembangunan pedesaan di Dunia Ketiga. Kalau kita percaya, sebagaimana pendapat sebagian dari studi-studi lapangan neo-klasik yang terkenal, bahwa para petani itu miskin namun efisien, maka pertumbuhan bidang pertanian masih mungkin dilakukan, yakni dengan cara meningkatkan harga relatif dan tingkat keuntungan dari sektor ini, atau dengan pengembangan teknologi. Maka, resepnya adalah memperbaiki nilai tukar perdagangan (terms of trade) produk pertanian dengan penyempurnaan produksi melalui aplikasi metoda-metoda yang lebih sempurna yang kemudian disebut revolusi hijau (green revolution). Kebijakan-kebijakan pendidikan, kesehatan, perluasan pertanian dan kredit dijustifikasikan sebagai syarat untuk memungkinkan penyerapan teknologi pertanian yang lebih baik secara lebih cepat. Namun titik berat utamanya tetap diletakkan pada peran harga relatif dalam mengarahkan alokasi sumber daya. Salah satu akibat lain yang juga penting adalah bahwa negara-negara miskin seyogyanya tidak memaksakan diri unt-uk mengkonsentrasikan sumber-sumber dayanya guna menghasilkan barang-barang perdagangan dan memacu impor makanan selama mereka menikmati keuntungan komparatif dalam bidang perdagangan itu. Keberlakuan paket kebijakan ini amat tergantung pada realisme yang mendasari premis-premis pendekatan neo-klasik. Berkenaan dengan masalah distribusi, asumsi kembar ten-tang tak terbatasnya faktor substitusi dan sempumanya kompetisi pasar dipertahankan untuk meng-isyaratkan bahwa pertumbuhan itu cendemng memacu pendapatan para buruh tani yang tidak memiliki lahan, dan mengarah pada kesimpulan bahwa keuntungan-keuntungan pada pertumbuhan bidang pertanian akan menetes hingga lapisan terbawah, kendati dalam struktur kerena properti yang sangat tidak merata. Dengan memikiat 1, ilmu ekonomi pertantanian klasik menjadi landasan berpikir bagi program politik yang konservatif. Padahal, pasar bagi produk dan faktor-faktor produksi bidang pertanian jauh dari kompetisi yang sempurna. Di dalamnya terdapat segmentasi, saling keterkaitan, dan biasanya dikendalikan oleh hubungan yang tidak sejajar dan ber-sifat personal antara patron-patron pemilik tanah dan klien-klien yang tidak memiliki tanah; sehingga para petani acapkali tidak menjadi pengambil keputusan yang independen. Sistem produksi pertanian memiliki eksternalitas-eksternalitas yang inheren; misalnya, dalam pengolahan tanah dan irigasi, dan ketidakpastian yang muncul karena jurang informasi dan unsur ketidakpastian dalam sistem pengiriman dan per-ubahan matriks teknologi. Keberatan kedua pada pendekatan neo-klasik itu tercurah pada postulat-postulatnya mengenai perilaku dan pengertian efesiensi itu sendiri. Perhitungan ekonomi dari para pemilik lahan yang kaya bisa jadi lebih ditentukan oleh tujuan-tujuan jangka panjang untuk memaksimalkan kekuasaan ketimbang menge-jar laba jangka pendek, sementara petani yang miskin lebih memikirkan tujuan-tujuan jangka pendek demi bertahan hidup menghadapi peru-bahan harga serta resiko dan ketidakpastian output. Metode neo-klasik mengabaikan situasi realistis di mana algoritma dari usaha memak-simalkan keuntungan secara dinamis mengarah kepada proses kemerosotan kolektif, seperti tergambar dari lingkaran setan perusakan lingkungan. Ilmu ekonomi pertanian neo-klasik juga tidak mempertimbangkan masalah efesiensi dari hubungan-hubungan produksi itu sendiri, di mana seharusnya dicari bentuk-bentuk organisasi produksi lain, ceteris paribus, yang bisa menjadi sumber pertumbuhan yang lebih baik. Terakhir, masih terdapat banyak masalah dalam penyusunan model produksi pertanian neoklasik. Sebagai contoh, para petani kecil diperlakukan tak ubahnya dengan sebuah perusahaan industri, dan arti penting faktor waktu dan saling keterkaitan dalam berbagai operasi pertanian (mulai dari penyemaian benih, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan sebagainya) yang sangat krusial justru diabaikan. Yang lebih penting lagi, validitas metodologis atas upaya kalangan neo-klasik dalam menggunakan fungsi produksi cross-sectiunal uniuk mengukur efisiensi ekonomis petal ti sangat meragukan. Sedangkan kelayakan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang diajukan oleh pendekatan neoklasik. Pengalaman pembangunan Dunia Ketiga pada periode pasca kolonial menumbuhkan ekonomi pertanian ke berbagai arah. Studi-studi empiris telah menyuburkan debat eklektik teoritis yang seru, yang selanjutnya bermuara pada munculnya berbagai pendekatan multidispliner atas bidang kajian yang dahulu dimonopoli oleh ilmu ekonomi pertanian konvensional. Dari sekian banyak perkembangan penting, salah satu-nya adalah dikembangkannya lagi teori diferensiasi demografis Chayanov yang dahulu bertolak dari kondisi pertanian Rusia pra-1917, interpretasi spekulatif Clifford Geertz mengenai pertanian pedesaan di Jawa semasa era kolonial yang bertumpu pada konsep involusi pertanian, serta dugaan Lipton atas adanya kaitan antara kemiskinan di pedesaan dengan berbagai masalah di perkotaan. Namun konsep-konsep pokok yang melandasi ilmu ekonomi pertanian yang sangat bervariasi itu tetap menjadi bahan perdebatan dan silang pendapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.