aliran bantuan dana internasional (aid) bantuan
Istilah "bantuan'' atau "bantuan pembangunan" (sering pula disebut sebagai "bantuan luar negeri") sebenarnya agak menyimpang dari kenyataan yang diwakilinya, dan penafsirannya pun sedikit bervariasi. Meskipun namanya "bantuan", dana ini tidaklah cuma-cuma. Hampir setiap penulis punya arti sendiri untuk istilah ini. Meskipun demi-kian, ada kesepakatan umum bahwa istilah ini mengacu pada transfer dana dari negara maju ke negara berkembang (atau dari negara yang Iatif kaya ke negara yang relatif miskin), dati harus memenuhi tiga kriteria, Yakni: (1) Tujuan membantu usaha peinbangunan, atau untuk tujuan soal militer (2) Pihak tidak bermotif komersial; (3) Syarat pemberiannya lunak, dan ada unsur "hibah". Namun setiap kriteria ini pun mengandung masalah konseptual. Kriteria pertama mengabaikan faktor "fungibilitas", yakni fakta bahwa negara penerima sam-pai batas tertentu cukup leluasa memakai dana itu untuk sesuatu keperluan yang ditentukannya sendiri (misalnya bukan untuk menopang pembangunan, melainkan untuk membeli persenjataan atau bahkan untuk mempertebal rekening penguasa korup di salah satu bank di Swiss). Kriteria kedua juga tak sesuai dengan fakta, karena banyak negara maju memberikan bantuan atas dasar motif komersial, sekalipun itu terselubung atau bersifat tidak langsung. Bahkan hampir semua bantuan bilateral dari satu pemerintah ke pemerintah lain selalu ada embel-embelnya", yakni sekurang-kurangnya kesediaan pihak penerima untuk membelanjakan dana bantuan itu untuk mengimpor sesuatu (misalnya mesin-mesin untuk mendukung pembangunan) dari perusahaan di negara pemberi. Ini jelas merupakan motif komersial, sekalipun motif pembangunannya masih ada. Di samping itu, banyak bantuan lain yang tidak berupa uang namun lebih efektif, seperti pemberian akses pasar khusus melalui fasilitas GSP (Generalized System of Preference) yang diberikan oleh sejumlah negara maju kepada negara berkembang guna mengembangkan ekspor mereka, yang malahan tidak digolongkan sebagai bantuan. Kriteria ketiga, yakni adanya unsur hibah, juga tidak mudah diterapkan. Kini, hampir semua dana bantuan dikenai bunga komersial yang cukup tinggi (sama seperti kredit biasa), namun semua itu masih disebut sebagai bantuan. Masa tenggang pembayaran yang dahulu hampir selalu ada kini juga kian langka dan kian pendek, sehingga semakin lama kriteria ketiga ini kian sulit dipenuhi. Komite Bantuan Pembangunan (DAC, Development Aid Committee) dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) telah mencoba merumuskan kembali unsur hibah itu. Masalahnya, apa yang disebut sebagai unsur hibah di masa donor ternyata berbeda dari pengertian pihak penerima. Dari seluruh bantuan DAC mencapai 85 persen. DAC merupa. kan sumber rujukan utama statistika bantuan. Tabulasi dan definisi-definisi yang digunakan oleh banyak pihak secara luas. DAC menerbitkan laporan tahunan yang berjudul Development Cooperation. Volume V di tahun 1992 memuat banyak tabel dan data yang rinci mengenai bantuan-bantuan yang telah disalurkannya. Negara-negara OECD (negara-negara industri barat ditambah Jepang, Australia, dan Selandia Baru) dan organisasi-organisasi internasional yang mereka dukung — seperti Bank Dunia, Bank-bank Pembangunan Regional, Program Pembangunan PBB, dan lain-lain — merupakan sumber bantuan global. DAC juga menyediakan data tentang aliran-aliran modal dari sumber lain seperti OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) dan dari bekas Uni Soviet. Penanaman modal swasta yang berasal dari pinjaman bank-bank komersial dan kredit ekspor swasta secara definitif diperlakukan sebagai pinjaman komersial dan dengan demikian dipisahkan dari bantuan, kendati porsinya dalam aliran modal ke negara-negara berkembang kian besar. Dalam sejarahnya, peran pinjaman bank dan kredit-kredit ekspor amat besar khususnya pada dasa-warsa 1970-an dan 1980-an. Tingginya pinjaman komersial ini sangat berresiko, apalagi di tengah-tengah berbagai perubahan pada lingkungan ekonomi dunia, dan kebijakan fiskal yang bergejolak. Penyusutan aliran modal secara mendadak ke berbagai negara berkembang mengakibatkan terjadinya 'krisis utang internasional'. Total aliran modal ke negara-negara berkembang pada tahun 1991 adalah 131 miliar dolar; 75 miliar di antaranya adalah ODA (Overseas Development Administration) dari negara-negara DAC (tidak termasuk utang non-ODA yang dihapuskan), dan rata-rata rasio ODA/GNP negara donor adalah 0,33 persen (OECD 1992). Ini lebih kecil dari rasio yang disepakati bersama, yakni sekitar 1 persen. Dewasa ini keprihatinan atas tidak-meratanya penyebaran geografis aliran dana internasional terus meningkat. Persentase bantuan pembangunan resmi bagi Afrika Sub-Sahara, vang tingkat penanaman modal asingnya amat endah, seharusnya lebih tinggi agar mereka dapat pembangunan jangka panjang. Namun justru sebaliknya. Kawasan termiskin di dunia itu kian sulit memperoleh bantuan. Di antara para donor dan para penerima telah ada semacam kesepakatan bahwa tujuan bantuan seyogyanya adalah untuk membantu tujuan-tujuan dasar pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan dan bersifat partisipatoris (pelengkap). Peran bantuan kini lebih diharapkan sebagai instrumen pengentasan kemiskinan ketimbang pencipta pertumbuhan. Kita perlu membedakan antara bantuan bila-teral dan multilateral (kontribusi lembaga multilateral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Regional dan seterusnya). Namun perbedaannya justru tidak sepenuhnya jelas. Misalnya, negara-negara Eropa Barat memberi bantuan mereka lewat EU (European Union). Bantuan EU sifatnya bukan bilateral tapi tidak pula sepenuhnya multilateral; untuk menentukan bantuan EU itu harus digolongkan bilateral atau multilateral, sampai derajat tertentu akan tergantung kepada definisi-nya. Bantuan multilateral lebih berharga bagi negara penerima ketimbang bantuan bilateral yang sifatnya mengikat, karena akan tersedia pilihan yang lebih luas dalam pemakaiannya, termasuk untuk memperoleh harga paling murah bagi barang-barang impor yang dibiayai dengan bantuan itu. Tentu saja bantuan bilateral yang tidak mengikat akan sama berharganya bagi negara pene-rima; tetapi, atas dasar pertimbangan politis, negara penerima (dan sementara donor) lebih menyukai jalur multilateral. Bantuan multilateral meliputi 25 persen dari total bantuan yang ada. Sudah sering diungkapkan bahwa negara-negara donor dapat meningkatkan bobot bantuan mereka kepada negara-negara yang memerlukan tanpa mereka perlu mengeluarkan biaya tambahan, yakni dengan menyalurkannya secara multilateral maupun dengan meniadakan ikatan-ikatan yang ada. Akan tetapi, hal ini mungkin akan menghilangkan dukungan politik kepada bantuan bilateral itu, karena adanya ikatan-ikatan tersebut membuat produsen dan para pekerja di negara donor turut memperoleh keuntungan, sehingga dukungan politik domestik terhadap pemberian bantuan itu terjaga. Hal ini terutama berlaku untuk bantuan pangan. Organisasi-orga-nisasi swadaya rnasyarakat (NGO) di Utara khususnya untuk menyalurkan bantuan pemerintah (official aid). Selama dasawarsa 1980-an terjadi penurunan bantuan dan bahkan timbul pemikiran bahwa bantuan bisa saja merugikan kalangan miskin. Kritik-kritik kaum kiri mengatakan bahwa bantuan menjurus pada perluasan kapitalisme intor-nasional dan mendukung motif-motif politis dari kekuatan-kekuatan neo-kolonial (tingginya persentase bantuan AS kepada Israel dan Mesir merupakan contoh bantuan yang memenuhi kriteria sebagai dana bantuan politik). Sedangkan kritik dari kaum kanan mengatakan bahwa bantuan justru memperluas birokrasi negara, yang berlawanan dengan kepentingan pasar bebas dan pembangunan jangka panjang (misalnya Bauer, 1984) dan bahwasanya negara-negara berkembang memiliki kapasitas terbatas dalam menyerap bantuan. Penilaian atas bantuan pada tingkat mikro secara umum menyimpulkan bahwa bantuan lebih banyak berdampak positif. Studi Bank Dunia tahun 1986 memperkirakan bahwa rate of return proyek-proyeknya mencapai 14,6 persen (White, 1992). Cassen menemukan bahwa rata-rata proyek tersebut memang memberi hasil yang memuaskan (Cassen 1986: 307).
Akan tetapi, sejumlah studi makroekonomi tidak berhasil menemukan hubungan yang signifikan antara bantuan dan pertumbuhan ekonomi. Peran makroekonomis bantuan bisa digambarkan dalam dua model kesenjangan: kelemahan pada pembentukan tabungan modal dan kekurangan valuta asing (biasa disebut atau masalah leher botol), yang keduanya seyogyanya bisa dijembatani oleh bantuan asing. Namun sejauh belum bisa dibuktikan secara empiris apakah bantuan memang memenuhi perannya secara makroekonomi atau tidak. Kekhawatian yang sering diungkapkan adalah bahwasanya bantuan bisa saja dipakai untuk mengalihkan tabungan, terutama tabungan sektor publik. Tambahan bantuan bisa menimbulkan penyakit Belanda yakni aliran bantuan asing justru meningkatkan harga relatif barang-barang yang tidak diperda-gangkan secara internasional sehingga menciptakan apresiasi nilai tukar riil yang berlebihan. Hal ini akan mengatah pada penurunan daya saing ekspor schingga membuat negata penertma senhxkin tergantung pada bantuan asing. Bantuan darurat merupakan bagian dari ODA yang khusus untuk mengatasi akibat-akibat situasi tidak normal yang menimbulkan penderitaan manusia, termasukdi sini bantuan untuk pengung-si. Bantuan darurat acapkali dilihat secara terpisah dalam perspektif anggaran dan perencanaan ne-gara, kendati telah diusahakan untuk mengaitkan bantuan darurat itu dengan bantuan pembangunan berjangka panjang. Pada tahun 1991 bantuan pangan meliputi 6,1 persen dari total bantuan ODA oleh anggota-anggota DAC (Food Aid Re-view, 1993: 138), atau 23 persen dari total bantuan multilateral, yang sama dengan porsi bantuan multilateral dalam total bantuan keuangan internasionaI. Sepertiga dari total bantuan pangan dikirim ke Afrika Sub-Sahara, namun penerima terbesarnya adalah Mesir dan Bangladesh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.