MENGATASI KECANDUAN alkoholisme dan penyalahgunaan alkohol (alcoholism and alcohol abuse)
Penggunaan alkohol sering menimbulkan masalah sosial, khususnya pada masyarakat perkotaan yang sedang mengalami proses industrialisasi. Perpecahan sosial menyuburkan kebiasaan minum minuman keras dalam lingkungan yang padat, atau di mana interaksi orang dan mesin menjadi pekerjaan pokok. Dalam konteks ini dengan perilaku-perilaku merusak: kekerasan produktivitas rendah dan membahayakan orang' lain dengan mengendarai mobil, motor atau boat ketika mabuk. Kendati jarang ada bukti yang kongklusif bahwa minuman keras menyebabkarji kebiasaan-kebiasaan buruk ini, opini masyarakat di Amerika Utara cenderung yakin, dan tidak merasa perlu mempertanyakan dampak destruktif dari alkohol. Ilmu sosial terjun dalam studi tentang alkohol sejak penghapusan larangan alkohol di AS pada tahun 1933. Para ilmuwan sosial mengajukan konsep bahwa alkoholisme lebih merupakan penyakit ketimbang kelemahan moral (Bacon 1958; Jellinek 1960). Model penyakit ini mengaitkan kebiasaan minum minuman keras yang kronis dengan mekanisme-mekanisme biokimia yang masih belum terjelaskan. Sumbangan terpenting ilmu sosial adalah terungkapnya akibat-akibat minuman keras dari sudut norma budaya. Para antropolog telah mencatat beraneka-ragam dampak pemakaian alkohol terhadap kebudayaan di berbagai tempat, tanpa mengesampingkan fakta bahwa semua interaksi biokimia dengan organisme manusia bisa saja sama di mana-mana. Studi-studi tentang perbedaan tingkat konsumsi alkohol dan alkoholisme pada berbagai etnis mengungkapkan pentingnya bentuk-bentuk sosialisasi, definisi sosial dan dukungan sosial (Marshall 1980). Namun tidak banyak yang mengangkat teori-teori tentang sebab-musabab penyalahgunaan alkohol dan alkoholisme berdasarkan ilmu sosial.
Kendati teori-teori semacam itu sudah ada (Akers 1977; Roman 1991; Trice 1996), pengaruhnya kalah oleh premis-premis yang mendasari intervensi alkoholisme, termasuk institusi yang terjun langsung menghadapinya seperti Alcoholic Anonymous, dan perlakuan-perlakuan yang mencerminkan ideologinya. Lagipula, sebagian besar dana penelitian di Barat mengalir kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan dunia medis. Jadi, penelitian-penelitian alkoholisme secara rutin mendapat tekanan untuk meningkatkan alokasi riset pada penelitian yang memakai pendekatan-pendekatan biologis. Para ilmuwan sosial amat kritis terhadap logika dan konsistensi dalam model alkoholisme sebagai penyakit (Figgarette 1988; Peelk., 19)1). Khususnya tentang bagaimana membedakan antara (masalah-masalah alkoholisme dan alkoholisme). Apa yang mereka sebut sebagai pendekatan baru terhadap masalah kesehatan itu tak lebih dari konsepsi-konsepsi yang kacau tentang peminum yang menyimpang, penyalahgunaan alkohol, dan ketergantungan alkohol (Pittman 1991; Roman 1991). Ada keterkaitan dalam penelitian yang mem-bahas konsekuensi-konsekuensi kebijakan distri-busi alkohol di berbagai negara dan wilayah. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan distribusi mempengaruhi masalah alkohol dan alkoholisme (Moore dan Geirstein 1981). Karena fokus penelitian alkohol di Amerika Utara dan Eropa Barat sebelumnya amat sempit, maka amat diperlukan basis penelitian yang lebih luas bagi negara-negara baru yang ingin melakukan perubahan radikal atas norma-norma minuman keras yang membarengi industrialisasi dan distribusi perdagangan alkohol. Penelitian para ahli sejarah tentang segenap aspek minuman keras dan kebijakan sosial kini tengah menjamur dan menyediakan latar-belakang yang lebih kritis terhadap pertimbangan-pertimbangan lintas-nasional dalam pengembangan kebijakan-ke-bijakan yang terkait dengan alkohol (Barrows dan Room 1991). Kendati belum menghasilkan kesimpulan, perbandingan-perbandingan internasional juga mempersoalkan pandangan umum dalam Alco-holics Anonymousdan dalam komunitas penyembuhan, yang menyatakan bahwa penghentian total merupakan satu-satunya pemecahan yang manjur bagi penyalahgunaan alkohol. Padahal, pengurangan alkohol secara bertahap atau pengurangan secara rutin bisa jadi merupakan pemecahan yang lebih mujarab (Heater dan Robertson 1981). Tapi meluasnya komersialisasi penyembuhan alhokolisme ke segenap penjuru dunia cenderung memperkuat keyakinan bahwa penghentian total merupakan satu-satunya obat mujarab. Hal ini merupakan dasar bagi model-model alkoholisme menurut ilmu kesehatan. Para ahli ilmu sosial juga terlibat dalam studi-studi aplikatif yang berkenaan dengan masalah-masalah alhokol.
Di AS, Kanada dan Australia, Dikonfrontasi dan direhabilitasi tanpa mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan atau dipecat (Sonnensulh dan Trice 1990). Sejalan dengan itu, para ahli ilmu sosial menentang kemanjuran strategi-strategi pendidikan dalam mencegah masalah alkohol di kalangan anak muda (Mauss et al. 1988). Secara umum, penelitian ilmu sosial terhadap alkoholisme masih dibayangi penekanan segi biologis dan masih dicampuri oleh ilmu biomedis. Potensi besar ilmu sosial ada pada pemahaman atas dinamika berbagai paradigma yang timbul-tenggelam di berbagai negara dan wilayah, paradigma-paradigma yang menata konsep-konsep budaya dari penyalahgunaan alkohol dan alkoholisme secara terorganisir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.