Definisi-definisi tentang kedewasaan umumnya mengisyaratkan bahwa ada periode di mana seseorang yang sebelumnya tergolong dalam kelompok anak-anak tumbuh besar. Amat kaburnya batasan tentang usia bilamana anak-anak dipandang telah tumbuh besar tercermin dari tidak seksamanya penentuan kapan seseorang dianggap dewasa. Kebanyakan definisi mengisyaratkan bahwa kedewasaan terjadi antara masa pubertas dan tercapainya kema-tangan fisiologis dan/atau psikologis. Baik masa (dan akhir) dari pubertas maupun tercapainya kematangan amat sukar ditentukan lantaran tidak mustahil untuk mendefinisikannya dengan bermacam cara dan setiap orang pun meng-alami pubertas pada waktu yang tidak sama. Akibatnya, ada penulis yang lebih memusat-kan perhatian pada kedewasaan sebagai periode yang dibuat secara hipotetis ketimbang dalam bentuk rentang usia tertentu. Mereka yang memerinci tahun-tahun kedewasaan amat bervariasi dalam definisinya, mulai dari 9 hingga 25 tahun. Karena pubertas dianggap amat penting bagi pendefinisian kedewasaan, banyak pengamat lebih berkonsentrasi pada perkembangan biologis dan individual ketimbang perkembangan sosial, kendati sebetulnya bidang ini tidak bisa dipisahkan kaitannya. Pakar psikologi AS, Granville Stanley Hall, dihargai karena 'penemuan'-nya tentang kedewasaan pada 1880 ketika ia menyatukan sekian banyak gagasan yang berkembang waktu itu. Gagasan-gagasan itu mirip dengan yang dijelaskan oleh Aristoteles dan Plato lebih dari 2000 tahun yang lalu dan beberapa dari tema yang diangkat Hall terus membangkitkan minat yang luas. Hall meminjam istilah Sturm und Drang (storm and stress) dari literatur Jerman dan menerapkannya untuk periode kedewa-saan. Ungkapan ini masih kerap dipakai, tapi maknanya kian menyebal, untuk menjelaskan kelakuan yang anti-sosial dan gejolak emosi, yang acapkali diberi label konsep psikologi seperti krisis identitas' (ini dipinjam dari psiko-analisis) atau kesenjangan generasi' antara pemuda dan orang tuanya (Coleman dan Hendry, 1990).
Penyelidikan tentang gejala-gejala ini (krisis identitas dan kesenjangan generasi) mengisyaratkan bahwa sebagian orang dewasa mengalami kesulitan-kesulitan dalarn membawakan diri, walaupun tidak ada bukti yang kuat untuk menga-takan bahwa hal itu berlaku secara universal. Orang-orang di abad dua-puluh prihatin (dan secara moral merasa panik) atas masalah-masalah politik dan sosial seperti pengangguran di kalangan pemuda, ketidakacuhan mereka, penyalahgunaan obat dan seksualitas (baik heteroseksual maupun homoseksual) sehingga melimpahlah publikasi tentang kedewasaan. Lebih sering ketimbang tidak, publikasi-publi-kasi semacam itu menelan mentah-mentah gagasan bahwa kedewasaan adalah sebuah problem (Griffin 1993). Tulisan tentang kedewasaan menjelaskan pertentangan epistemologis antara studi tentang kedewasaan dan studi di lain bidang. Mengikuti karya psiko-analisis Erik Erikson, acapkali dikata-kan bahwa kedewasaan adalah masa kritis atau periode hidup di mana identitas harus dibentuk agar para pemuda siap memikul tanggung jawab seksualitas yang 'dewasa dan berbagai tang-gung jawab lainnya sebagai orang dewasa. Akan tetapi, rumusan ini berlawanan arah dengan gerakan-gerakan pemikiran dalam psikologi perkembangan yang tidak memakai lagi pem-bagian tahap-usia dan pemikiran adanya masa kritis itu. Lebih jauh, kebanyakan karya tentang identitas kedewasaan mengandaikan bahwa identitas bersifat kesatuan dan terorganisir secara hirarkis. Karya lain tentang kedewasaan atau subyektivitas dari berbagai disiplin ilmu telah membuat teori-teori yang berbeda: identitas terpecah beberapa bagian, yang secara potensial bertentangan dan bersifat majemuk. Gagasan tentang sifat lentur dan perubahan dalam identitas ini kini semakin berpegaruh. Masalah-masalah kedewasaan secara umum diasumsikan muncul dari kemoderenan zaman. Namun analisis kesejarahan menunjukkan bahwa, bukan hanya sekarang, kebanyakan gene-rasi memang menanggap bahwa generasi muda (dan hampir semua pemuda yang menjadi subyek penelitian) adalah masalah. Mereka yang memandang masalah kedewasaan sebagai produk abad dua-puluh pada umumnya mengacu pada fakta bahwa para remaja mencapai pubertas lebih dini, dan meski terus menempuh jenjang pendidikan namun tetap bergantung kepada generasi yang lebih tua.
Ada pula fakta yang mengisyaratkan bahwa di masyarakat Barat, dengan tidak adanya tanda-tanda status yang menunjukkan bahwa seseorang telah me-masuki kedewasaan, telah timbul tahap (selang-dewasa). Dalam masalah kedewasaan ini terlihat perbedaan dan persamaan antara psikologi dengan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, para sosiolog cederung memakai istilah kepemu-daan (youth) ketimbang kedewasaan (adolescene). Akan tetapi, perbedaan istilah tidak mesti menyebabkan perbedaan dalam acuan kelompok umur yang diteliti. Sebagian sosiolog yang mengikuti tradisi Eropa menganalisis masalah kepemudaan dengan berangkat dari gagasan psikologi tentang kedewasaan sebagai fase kehidupan di mana seseorang mencari dan merumuskan konsep diri dan identitasnya. Alasannya adalah adanya premis bahwa pemben-tukan subyektivitas sangatlah penting bagi integ-rasi sosial dan aspek-aspek perubahan sosial (Chisholm, et. al. 1990). Titik pertemuan lain dari tradisi penelitian kedewasaan-kepemudaan adalah mereka sama-sama memperhatikan masa transisi menuju dunia kerja (atau pengangguran). Dalam psikologi sangat diperhatikan sekali dampak pengang-guran kaum muda karena minimal bagi para pemuda itu sendiri — pekerjaan adalah salah satu indikator tercapainya status mandiri sebagai orang dewasa. Dalam sosiologi, banyak sekali analisis dan pemikiran mengenai pengalaman para siswa dalam pendidikan serta bagaimana sistem pendidikan dan praktek pengajaran mempengaruhi reproduksi sosial dan perubahan-perubahan sosial. Salah satu aliran pemikiran yang amat ber-pengaruh adalah yang diajukan oleh Centre of Contemporary Cultural Studies di Inggris. Pendekatan mereka mendominasi penelitian ten-tang kepemudaan pada era 1970-an dan awal 1980-an, mempengaruhi sekian banyak studi di berbagai negara dan memiliki dampak besar terhadap riset-riset yang dilakukan kemudian. Orientasi mereka adalah studi-studi kebudayaan yang menantang kecenderungan diskusi tentang kedewasaan seolah-olah para pemuda melewati masa itu secara bersamaan dan dengan cara yang sama. Karya-karya tradisi ini membongkar pemikiran-pemikiran yang menganggap kepemudaan sebagai satu kesatuan dan bersifat universal, dan mereka berpendapat bahwa pengalaman para pemuda sesungguhnya berbeda menurut ras dan kelas sosialnya, sehingga dengan demikian kepemudaan itu sesungguhnya terdiri dari berbagai kelas. Sebagian besar penelitian sosiologi tentang kepemudaan mencakup penelitian tentang sub-kultur kepemudaan, umumnya subkultur lelaki kelas pekerja, dengan fokus pada bentuk-bentuk hiburan dan gaya hidupnya.
Ada yang berpendapat bahwa hasil dari penelitian-penelitian itu adalah penyederhanaan 'masalah kepemudaan' dari storm and stress (badai dan tekanan) menjadi storm and dress (badai dan busana) (Cohen 1986). Kurangnya perhatian kepada para pemudi juga sering menjadi sumber kritik (McRobbie 1991). Kendati ada kesamaan antara studi sosiologi tentang kepemudaan dan studi psikologi tentang kedewasaan, ada juga perbedaan menonjol yang patut dicatat. Salah satu fokus penting sosiologi adalah studi tentang pembagian-pembagian sosial (social divisions) yang merupakan cara untuk memahami kesenjangan yang terstruktur dalam sistem. Menurut pembagian gender (jenis kelamin), ras, kelas sosial, dan faktor geografi. Masalah kelas bawah dan polarisasi antara orang berada dan orang miskin selalu menjadi pembahasan dalam sosiologi sejak akhir 1970-an. Kendati pembahasan ras dan etnis dalam sosiologi, misalnya mengenai pemuda kulit hitam dan pemuda minoritas lainnya, menimbulkan gambaran yang agak hitam-putih, namun dalam psikologi masalah ini hampir tak pernah dibahas, kecuali dalam pembahasan tentang identitas menurut ras. Kelas sosial dan posisi struktural juga amat dijauhi oleh psikologi pada-hal hal itu tak terpisahkan dari masalah definisi kedewasaan dan cara para pemuda mengisi waktu mereka.
Gender para pemuda tidak begitu mendapat perhatian, baik dalam sosiologi maupun psikologi. Akan tetapi, masalah ini memang diperlakukan secara berlainan dalam kedua disiplin ilmu itu, di mana para sosiolog berfokus pada budaya pemudi, sedangkan psikolog cenderung membuat perbandingan antara pemuda dan pemudi. Dengan demikian, studi tentang kedewasaan merupakan lahan yang sedang tumbuh subur, karena ia menarik sejumlah tradisi keilmuan yang berlawanan dan jauh dari bersatu dalam berbagai disiplinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.