Secara sangat sederhana, periklanan bisa didefinisikan sebagai komunikasi pasar yang dilakukan para penjual barang dan jasa. Yang paling banyak memperhatikan masalah ini pada awal-nya adalah para ekonom, dan pembahasannya didasarkan pada konsep kunci informasi dalam konteks struktur pasar di tingkat nasional. Sudah amat banyak penelitian empiris dilakukan untuk melihat efektivitas periklanan dalam meningkatkan permintaan produk (baik iklan yang sifatnya individual maupun untuk pasar secara keseluruhan). Namun keseluruhan penelitian itu tidak bisa menyimpulkan secara tegas seberapa efektif periklanan itu dari segi ekonomi (Albion dan Farris 1981). Di antara para teoritisi yang mengembangkan konsep-konsep alternatif tentang periklanan adalah para ekonom Marxis, yang menitikberatkan pada fungsi-fungsi persuasif dan manipulatif iklan. Periklanan dilihat sebagai unsur pokok dalam penciptaan permintaan di mana kapitalisme bergantung setelah kapasitas produksinya melebihi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dari sudut pandang ini, periklanan merupakan lembaga yang tak terpisahkan dari hidup-matinya sistem kapitalisme, dan diandalkan guna mengatasi masalah kian sukarnya trealisasi kapitalisme tahap lanjut (yakni transformasi nilai tambah pada komoditas-komoditas menjadi bentuk uang) (Mendel 1978). Lokasi periklanan dalam serangkaian faktor-faktor pembatas ini telah memunculkan sekian karya historis tentang asal-usul lembaga periklanan. Stuart Owen (1979) memelopori bidang ini, dengan mengatakan bahwa periklanan memiliki fungsi kembar terhadap kapitalisme pada pergantian abad lalu: menciptakan permintaan untuk menampung kapasitas barang-barang industri, serta mengalihkan perhatian dari konflik kelas di tempat kerja dengan mendefinisikan identitas menurut konsumsi, bukan produksi. Periklanan merupakan lembaga baru dan pen-ting ketika kapitalisme mengubah bentuk industrinya ke tahap konsumer. Banyak teoritisi kritik sosial yang masih melihat pentingnya fungsi iklan tersebut bagi kapitalisme. Teoritisi budaya, Raymond Willams (1980), menamakan periklanan sebagai sebuah sistem sihir' yang menjauhkan perhatian orang dari sifat kelas dalam masya-rakat dengan menekankan komsumsi. Dalam sebagian besar literatur, periklanan dilihat sebagai lokomotif utama penciptaan kebutuhan semu.
Dengan bergesernya perhatian dari efek iklan yang semata-mata bersifat ekonomi, ruang penelitian pun terbuka lebar untuk memandang periklanan dari sudut efek-efek atau dampaknya secara lebih luas dan umum. Leiss et. al (1990) berusaha menempatkan iklan dalam suatu perspektif kelembagaan (menjembatani hubungan antara bisnis dan media) di mana persoalan peran iklan dalam penjualan tidak menjadi begitu penting (dan menarik) lagi, dibanding perannya sebagai lokomotif komunikasi sosial (bagaimana iklan mencoba menarik para konsumen dengan dimensi-dimensi yang tidak berhubungan langsung dengan barang-barang tersebut — baik dimensi identitas individual, kelompok atau keluarga; kebahagiaan dan kepuasan; gender dan identitas seksual; dan sebagainya). Iklan di sini didefinisi-kan sebagai bagian penting dari diskursus me-lalui dan tentang obyek-obyek' yang melibatkan semua masyarakat. Dengan memperluas dari advertising sekedar orientasi ekonomi ke perspektif budaya, kekuatan iklan pun didefinisikan kemball. Pengaruhnya dilihat berdasarkan gencarnya kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari, berangkat dari posisinya yang diistimewakan dalam struktur diskursif pada masyarakat modern.
Periklanan bukan hanya lembaga yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang luas namun juga memainkan peran kunci dalam mengarahkan kembali dan menekankan sebagian dari nilai-nilai tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini iklan menjalankan fungsi yang sama dengan mitos dalam masyarakat kuno (Leymore 1975), Dipandang dari sudut ini, periklanan tampak sebagai semacam gudang besar yang menyimpan sejarah pergeseran nilai-nilai budaya selama perjalanan abad dua-puluh. Para ahli sejarah sosial (misalnya Marchand 1985) serta ahli-ahli antropologi (seperti McCraken 1988) menggunakan data yang tersimpan dalam gudang ini untuk keperluan analisis sejarah dan lintas-budaya. Dewasa ini, kebanyakan perhatian (akademis dan sosial) tentang iklan didasarkan pada pandangan bahwa iklan adalah komponen budaya populer yang vital. Analisis ilmu sosial yang paling kuat dalam periklanan mempermasalahkan peran yang dimainkan iklan dalam sosialisasi gender. Dengan didasarkan terutama pada metodologi analisis isi, disimpulkan bahwa wanita dan laki-laki ditampilkan dalam peran sosial yang amat berbeda: perempuan ditempatkan pada peran yang lebih sempit dan subordinatif terhadap lelaki (biasanya sebagai obyek-obyek seks atau kegiatan rumah tangga semata) (Courtney dan Whipple 1983). Banyak pula spekulasi mengenai kaitan antara citra gender dalam iklan dan subordinasi wanita dalam masyarakat. Karya teoretis paling maju mengenai gender dihasilkan oleh Erving Goffman (1979) yang berpendapat subordinasi visual terhadap wanita didasarkan pada iklan yang menampilkan subordinasi kehidupan-nyata' secara 'hiper-ritualistis' lagi-lagi ditekankan bahwa iklan mencerminkan dan sekaligus memperkuat nilai-nilai budaya dominan. Bidang penting lainnya berkenaan dengan iklan adalah efeknya terhadap sasialisasi anak-anak, dengan cakupan dimensi yang luas, khususnya kesehatan (dalam arti makanan) serta perkembangan intelektual dan kapasitas imajinasi. Dalam analisis paling menyeluruh di bidang ini, Kline (1994) berpendapat bahwa pemasaran produk mainan anak-anak telah menimbulkan sekian dampak jelek terhadap jenis permainan yang dimainkan anak-anak (membatasi imajinasi dan kreativitasnya) dan juga terhadap interaksi antar-gender dan interaksi orang tua-anak. Periklanan juga berkaitan dengan masalah kesehatan, yakni pada pemasaran produk-produk seperti alkohol, tembakau, dan obat-obat medis. Secara khusus, perhatian besar diberikan kepada hubungan antara iklan tembakau atau rokok dan kecanduan tembakau, dengan kritik bahwa industri tembakau menggunakan iklan untuk mempertahankan pasar dengan meyakinkan para perokok bahwa tembakau tidak mengganggu kesehatan, dan untuk menarik pula pemakai-pemakai baru (umumnya anak-anak). Teknik-teknik yang diperoleh dari periklanan kian meluaskan jangkauannya ke berbagai bidang kehidupan lain, sehingga semakin banyak diskursus masyarakat modern dilihat dari kacamata iklan. Kampanye politik dilakukan dengan cara tak jauh berbeda dengan kampanye pema-saran produk konsumen. Para pengamat merasa khawatir dengan dampaknya terhadap sifat demokrasi dan tipe-tipe calon pemimpin yang muncul. Kampanye kesehatan masyarakat (misalnya untuk pendidikan AIDS) juga memakai teknik-teknik dan jasa yang pada awalnya dipakai dalam industri periklanan (sehingga muncullah bidang baru yang dinamakan pemasaran sosial). Terdapat kekhawatiran yang luas atas dam-pak periklanan global terhadap nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang sebelumnya berada di luar pengaruh komunikasi pasar, serta pengaruh pemasukan yang diperoleh para pemasang iklan terhadap isi editorial media (hiburan dan berita-berita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.