Persoalan tentang kapan dan bagaimana istilah birokrasi ditemukan masih tidak pasti. M. de Gomay. tulis Baron de Grimm, filsuf Perancis, dalam sebuah surat bertanggal 1 Juli 1764, idahulunya acapkali menemukan empat atau lima bentuk pemerintahan di bawah judul bureau-cratie.' Dalam waktu yang amat singkat istilah ekonomi-fisiokrat ini memasuki bahasa politik di tingkat internasional: bahasa Italinya burocrazia. bahasa Jermannya Bureakratie (sebelumnya Burokratie), dan bahasa Inggrisnya bureaucracy' (Albrow 1970). Namun, persoalan mengenai makna kata ini tidaklah sampai demikian kabur. Dalam debat politik, tulis Martin Albrow, "birokrasi" menjadi istilah yang memiliki kadar emosi dan konotasi yang kuat. Para ahli ilmu sosial pun kurang pasti dalam penafsirannya. Kadang-kadang "birokrasi" diartikan sebagai efisiensi administrasi, kadang-kala justru sebaliknya. Istilah ini kadang muncul sebagai sinonim dari layanan masyarakat, atau sekompleks gagasan yang merangkum hal-hal khusus dari struktur organisasi modern. Istilah ini mengacu pada badan resmi, atau rutinitas administrasi kantor' (Albrow 1970). Kekaburan ini mungkin sifatnya hanya muncul di permukaan dan tidak nyata. Dari sekian banyak definisi tentang birokrasi, ada dua unsurnya yang sudah disepakati, yakni bahwa birokrasi adalah pemerintahan oleh para pegawai, dan merupakan suatu bentuk khusus organisasi.
Kendati makna-makna ini terpisah, narnun hubungan antara satu sama lain tetap ada. Bagi Vincent de Gornay istilah demokrasi adalah pemerintahan oleh para pejabat yang dibayangkannya mirip dengan aristokrasi di zaman Yunani yang dianggapnya cocok untuk diterapkan di Perancis. Pengertian itu pula yang dianut oleh Harold Laski ketika ia mendefinisikan bi-rokrasi dalam ensiklopedi ilmu-ilmu sosial di tahun 1930. Di situ ia mengatakan bahwa bi-rokrasi adalah "suatu sistem pemerintahan yang kontrolnya sepenuhnya berada di tangan para pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi kemerdekaan warga negara biasa". Tokoh lain yang menganut pandangan serupa adalah Harold Lasswell dan Abraham Kaplan (1950). Dalam karya mereka yang berjudul Power and Society, kedua tokoh itu mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana elit yang berkuasa terdiri dari pejabat". Definisi de Gornay tersebut masih memiliki pengikut pada abad 20.
Mereka menganggap pemerintahan oleh para pejabat sebagai bentuk pemerintahan yang paling tepat bagi masyarakat modern, mengingat para pejabat itulah yang memiliki pengetahuan dan kecakapan terorganisir secara baik. Para tokoh lainnya seperti Robert Michel (1962 [1911]) menjelaskan pandangan itu dalam kerangka organisasi berskala besar: "siapa yang bicara tentang organisasi, pastilah bicara tentang oligarki". Sebagian besar ilmuwan modern yang menganut pandangan de Gornay juga meyakini bahwa birokrasi tidak lepas dari kelemahan tertentu. Hanya saja, pandangan tentang kelemahan itu tidaklah seragam. Adakalanya birokrasi dipandang sebagai "pengatur yang tidak bisa dibiarkan begitu saja", "raksasa yang kelewat banyak menuntut", "kekusaan asing yang selalu menindas'', dan ada kalanya disebut pula "mesin besar yang boros, lambat dan tidak bisa diandalkan" . Sebagian kritik menganggap birokrasi bersifat agresif dan pasif. Laski, misalnya, memandang birokrasi sebagai bentuk pengaturan yang adakalanya merampas kemerdekaan warga negara biasa, dan acap-kali terlalu kaku sehingga mengabaikan substansi dasar permasalahan yang hendak diatasi. Terlepas dari kritik-kritik tersebut, para pengamat itu mengakui bahwa para pejabat merupakan pihak yang paling berkompeten memegang kekuasaan riil dalam setiap sistem politik. Pandangan ini dianut pula oleh Max Weber (Gerth dan Mills, 1946) dan atas dasar itu pula Weber dikritik diawal abad 20 oleh mereka yang menganggap bahwa birokrasi sesungguhnya adalah salah satu bentuk organisasi pengaturan yang bisa saja digantikan oleh bentuk pengaturan yang lain. Bagi Weber, pendapat yang menyamakan sosok pejabat dengan sosok penguasa sulit dimengerti dan tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih lanjut Weber berpendapat bahwa para pejabat itu lebih merupakan aparat pelaksana yang tidak seharusnya memangku kekuasaan. Dalam masyarakat moderen peran mereka lebih didasarkan pada kekuasaan "legal" ketimbang kekuasaan "karismatik" atau unsur-unsur lain yang lebih bersifat tradisional. Karena itu, wewenang mereka pun senantiasa terbatas dan batas-batas itu harus senantiasa diketahui dan ditegakkan secara jelas, baik melalui hukum-hukum tertulis seperti statuta, peraturan administratif atau pengawasan pengadilan. Di mata Weber, birokrasi adalah bentuk organisasi terbaik untuk menerapkan wewenang legal. Kalau wewenang legal membutuhkan suatu pemerintahan berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan preferensi manusia, maka birokrasi bisa dianggap sebagai "suatu organisasi posisi/ jabatan, dan bukan organisasi manusia". Jadi, organisasi birokrasi terdiri dari sejumlah jabatan atau instansi yang kekuasaan dan tugasnya didefinisikan secara jelas, demikian pula dengan segenap kegiatan dan cakupan wewenangnya. Semuanya bersifat hirarkis dan terpadu menjadi satu kesatuan. Birokrasi akan berjalan dengan baik, jika pengisian jabatan didasarkan pada kemampuan yang bisa dikriteriakan dengan diploma, ujian atau kualifikasi profesional lainnya. Gaji dan struktur karir juga harus diatur secara pasti karena hal itulah yang menjadi satu-satunya mata rantai personal antara jabatan dengan orang-orang yang mengisinya. "Pemerintahan oleh para pejabat" dan "salah satu bentuk organisasi" merupakan dua aspek yang berlainan dari birokrasi. Namun keduanya juga berkaitan, dan sebagaimana yang diperlihatkan oleh sejarah, definisi yang satu merupakan reaksi terhadap definisi yang lain.
Jadi kedua aspek tersebut dapat dipadukan dan tidak harus dipertentangkan. Weber, misalnya, nampaknya lebih tertarik pada aspek "pemerintahan oleh para pejabat". Ini dikarenakan, menurut Weber, anggapan itu ha-ruslah dipegang terlebih dahulu sebelum kita dapat menyadari keberlakuan aspek lainnya, yakni gagasan yang menyatakan bahwa birokrasi adalah salah satu bentuk organisasi pemerintahan. Namun sebaliknya, kalau kita terpaku pada aspek kedua, maka kita tidak bisa membayangkan keberlakuan aspek pertama. Artinya, masih menurut Weber, kalau kita terlanjur mengartikan birokrasi sebagai salah satu bentuk organisasi pemerintahan maka sulit bagi kita untuk mengartikan birokrasi itu sebagai "pemerintahan oleh para pejabat". Ia mengatakan: Dalam kondisi-kondisi normal, posisi kekuasaan dari suatu birokrasi yang telah berkembang dengan baik senantiasa kompleks. Para politisi berbakat akan menemukan posisi bagi diri mereka dalam struktur tersebut yang juga akan diisi oleh para ahli profesional atau teknokrat yang memiliki keterampilan terlatih dalam manajemen administrasi. Mereka semua akan saling berbagi tempat agar birokrasi itu dapat melayani masyarakat, yang wahana institusionalnya bisa dijelmakan sebagai sebuah parlemen, presiden yang dipilih langsung, penguasa absolut atau keturunan, atau bisa pula berupa monarki "konstitusional". (Gerth dan Mill, 1946).
Para ilmuwan sosial lainnya yang pada dasarnya menerima definisi birokrasi dari Weber memusatkan perhatian mereka pada berbagai aspek mulai dari kekuasaan birokrasi itu sampai resiko inefisiensinya sebagai sebuah organisasi. Robert Merton (1952), misalnya, melihat bahaya yang terkandung dalam setiap organisasi yang memiliki wewenang pemerintahan, yakni kecenderungan orang-orang yang ada di dalamnya akan melayani kepentingan mereka sendiri dan mengacaukannya dengan fungsi pelayanan yang harus diembannya sehingga membuat mereka enggan mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Sementara itu Michel Grozier (1964) m'enggambarkan birokrasi sebagai suatu organisasi yang tidak dapat mengoreksi perilakunya berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya".
Dilema antara Birokrasi dan kemerdekaan warga negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.