Istilah sosiologi seni (sociology of art) dipakai sebagai kependekan dari sosiologi seni-seni (sociology of the arts) atau sosiologi seni dan literatur (sociology of art and literature). Sebenarnya, sosiologi seni-seni visual relatif jarang dikembangkan ketimbang sosiologi literatur, drama atau bahkan film. Sifat generik dari pokok bahasan sub-disiplin sosiologi ini mau tidak mau menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam analisis, lantaran kita tidak selalu bisa menarik garis sejajar antara, katakanlah, musik dan novel dengan konteks sosial atau politiknya. Sosiologi seni benar-benar merupakan wilayah yang cair. Di dalamnya tidak ada satu model analisis atau teori yang dominan, yang menjelaskan hubungan seni dan masyarakat. Di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya, pendekatan Marxis dan non-marxis masih berpengaruh hingga pertengahan 1970-an, landasan bagi sosiologi seni. Mungkin akan bermanfaat jika kita mensurvey masalah ini dari dua sisi tradisi yang berbeda ini. Sosiologi seni Amerika acapkali dinamakan sebagai pendekatan produksi budaya (producti onf culture). Pendekatan ini berada dalam mainstream analisis sosiologi, dan memusatkan diri pada studi tentang institusi dan organisasi produksi budaya (lihat Becker 1982; Coser 1978; Kamerman dan Martorella 1983; Peterson 1976). Yang diminati adalah masalah hubungan-hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi. Ahli sosiologi melihat kepada peran para "penjaga gawang" (para penerbit, kritikus, pemilik galeri) dalam memperantarai seniman dan masyarakat; juga mengenai hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di sebuah akademi seni atau perusahaan opera; atau mengenai hubungan antara produk-produk budaya tertentu (misalkan, fotografi) dan organisasi-organisasi sosial di mana karya itu dihasilkan (alder 1979; Bystryn 1978; Rosenblum 1978). Titik beratnya. kendati tidak mesti eksklusif, seringkali adalah pada seni-seni pertunjukan (performing arts), di mana kompleksitas hubungan-hubungan sosial dianalisis; di Inggris, seni-seni pertunjukan mendapat tempat kedua setelah literatur, yang menjadi fokus para sosiolog.
Tradisi Marxis Apa yang disebut pendekatan produksi-budaya itu acapkali mendapat kritik karena dianggap sering mengabaikan produk budaya itu sendiri. Karya seni dianggap sebagai obyek yang sudah demikian adanya dan tidak perlu diperhatikan lagi isi, sifat simboliknya, atau konvensi-konvensi penyajiannya. Di lain pihak, karya dalam tradisi Marxis mulai mengakui pentingnya melihat novel, lukisan, atau film secara kritis dan analitis sebagaimana halnya kondisi-kondisi produksinya. Para ahli seni Marxis sudah bergerak dari metafora sederhana dan kurang mengena, yakni basis dan suprastruktur, yang mengandung bahaya sikap reduksionis ekonomi terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur serta seni semata-mata sebagai pencerminanl faktor-faktor klas atau ekonomi. Karya pengarang kontinental Eropa (Gramsci, Aclorno, Althusser) menjadi penting dalam penyempurnaan model, dengan bertumpu pada level-level kelompok sosial antara kesadar an individual dan pengalaman (pengarang), dan spesifikasi tekstual. Dalam hal yang terakhir tadi, dimasukkan pemikiran strukturalis, semiotik, dan psikoanalisis ke dalam perspektif yang lebih sosiologis, yang memungkinkan diperhatikanya hal-hal seperti narasi, imajinasi visual, teknik-teknik dan konvensi sinematik, dan kode-kode televisi. Jadi, selain menunjukkan bahwa acara-acara baru di televisi, misalnya, diproduksi dalam konteks hubungan sosial kapitalis, pemerintah, atau pembiayaan keuangan tertentu, serta ideo-logi profesional atau politik tertentu, tidak tertutup kemungkinan untuk melihat teksnya (dalam hal ini, acara televisi itu sendiri) dan menganalisis berbagai hal sebagai cara untuk menentukan makna-makna (estetis, politis, ideologis) lewat bermacam saluran lewat kode-kode visual dan aural, komentar naratif, pengambilan sudut kamera, dan seterusnya. Kekuatan sosiologi seni hingga saat ini, khususnya di AS dan di Inggris adalah, pertama, pengembangan metodologi studi institusi dan praktek-praktek produksi budaya dan, kedua, ana-lisis budaya sebagai bagian dari kerangka sosial dan sejarah yang lebih luas. Sosiologi produksi bu-daya dan sosiologi teks, sebagai analisis pelengkap, menghasilkan koreksi berharga atas pendekatan seni yang lebih tradisional dan kurang kritis, yang selama ini dominan dalam sejarah seni, kritik literatur, dan estetika. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pengembangan sosiologi seni, paling tidak di Inggris, dilakukan oleh orang-orang yang bekerja pada disiplin lain. Karena mereka mem-perhatikan sifat ideologis dari pokok bahasan maupun displin ilmu mereka, mereka berpendapat bahwa tradisi agung dan sastra kanon' lebih tepat dipandang sebagai produk sosial dan sejarah, dibangun dalam institusi dan nilai-nilai tertentu, ketimbang dipandang sebagai nilai-nilai alamiah' atau transenden' (Eangleton 1976; Widdowson 1982). Wilayah penting lain bagi sosiologi seni adalah studi resepsi para khalayak dan respon mereka.
Aspek budaya ini sudah demikian dijauhi, kendati perkembangan kritik sastra di AS, di Jerman, dan di Skandinavia (pendekaran hermeneutiks, resepsi estetis, psikoanalis) telah membuka peluang mempelajari makna yang lebih luas bagi pembaca/penonton. Kini disadari oleh sekian ahli sosiologi bahwa studi teks yang kritikal perlu dilengkapi dengan sosiologi pembaca dan penonton, sifat-sifat mereka, dasar-dasar dan mode of receptionnya (Eco 1980). Pendekatan sosiologis terhadap seni telah mampu menunjukkan kesinambungan, dan hubungan kelas, perkembangan dan perpisahan antara seni tinggi dan budaya populer dan dengan demikian mengungkap sisi problematik dari konsepsi-konsepsi seni yang dimiliki oleh mereka yang mendukung dan membiayai kesenian, serta masyarakat secara keseluruhan (termasuk juga para sosiolognya). Istilah cultural-capital (Bourdieu 1984), menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial dominan mengguna-kan bentuk-bentuk budaya tertentu untuk mengamankan identitas mereka dari serbuan kelompok lain. Istilah ini berguna untuk menunjukkan sejarah dan kesinambungan produksi batas-batas dan penilaian estetika dalam budaya. Pengakuan akan sifat interdisipliner dari sosiologi seni memasukkan karya kritikus-kritikus dan ahli sejarah feminis, yang telah mencatat dan menentang dikecualikannya wanita dalam produksi maupun sejarah seni (Moers 1977; Parker dan Pollock 1981; Pollock 1982). Jawaban atas mengapa tidak ada seniwati besar?' (Nochlin 1973) sesungguhnya bersifat sosiologis atau sosio-historis, dan analisis feminis memudahkan kita merangkum sifat sepihak dari produksi budaya, dalam arti gender, dan juga dominasi ideologi patriarkat dalam representasi artistik. Cara menampilkan wanita (dan laki-laki) dalam seni dan literatur merupakan hasil dari posisi-nyata mereka dalam masyarakat serta ideologi yang mempertahankan hal itu, dan juga faktor yang turut mendukung ideologi-ideologi tersebut. Kritik pasca-kolonial memperlihatkan suatu argumen yang persis sama tentang etnis minoritas dan kebudayaan non-Barat (Hiller 1991; Lipparet 1990; Said 1978). Kebudayaan bukanlah semata-mata cerminan dari struktur sosial: ia juga merupakan pembuat makna-makna dan penentu serta pendukung ideologi. Dalam pengertian ini, metafora basis dan superstruktur menjadi terkait utuh karena seni dan budaya juga dipertahankan dan dalam beberapa kasus dirusak oleh orde yang sedang berkuasa.
HOtS PERKEMBANGAN sosiologi seNI (art, sociology of)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.