Rabu, 19 Januari 2011

MENGULIK BAHASAN KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL INTELLIGENCE)

Riset mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI merupakan upaya untuk memahami perilaku otak (dan prasyarat-prasyaratnya: persepsi, penggunaan bahasa, dan representasi mental dari informasi) dengan menirukannya lewat komputer. Langkah awalnya tampak pada karya Pascal, Leibniz, dan Babbage, yang semuanya menggambarkan suatu bagan untuk mesin kecerdasan yang tidak bisa dibuat waktu itu karena sulitnya komponen-komponen mekanik yang diperlukan untuk membuat mesin tersebut. Keberadaan AI sebagai disiplin ilmu mandiri bisa dilacak hingga penemuan komputer digital, dan lebih spesifik lagi, pada sebuah konferensi di Dartford College, New Hampshire, 13ada 1956.

Pada konferensi itu, Allen Newell, Cliff Shaw dan Herbert Simon (lihat, misalnya Newell et.al. 1957) menguraikan penggunaan prosedur-prosedur heuristik, hukum jari jempol, untuk memecahkan berbagai masalah, dan memperlihatkan bagaimana prosedur-prosedur itu dapat dienkode menjadi program-program komputer. Karya mereka ini jauh berbeda dari upaya-upaya yang telah dilakukan hingga saat itu, yakni membuat model perangkat-perangkat sel otak. Karya Newell et.al. mendorong berkembang-nya bahasa-bahasa program yang lebih canggih (khususnya LISP-nya John McCharthy), dan pendekatan umum mereka, yang dijuluki Marvin Minsky sematic information processing, diterapkan dalam bidang-bidang khusus seperti pengenalan obyek visual, pemahaman bahasa dan permainan catur. Munculnya komputer yang lebih besar dan lebih cepat mendorong para peneliti AI untuk mencoba meningkatkan skala program-program mereka untuk pekerjaan di dunia nyata, bukan hanya untuk tugas-tugas berskala kecil di laboratorium. Dapatkah sebuah program yang bisa berbicara tentang balok-balok kayu di atas meja digeneralisir sedemikian rupa sehingga bisa berpidato tentang kemiskinan di negara berkembang, misalnya? Jawabannya seringkali: tidak. Trik-trik yang manjur untuk kasus-kasus berskala terbatas akan gagal pada kasus lain meskipun masih dalam tema yang sama. Misalkan saja, gagasan-gagasan yang digunakan dalam program-program pengenalan obyek pada tahap awal belakangan ternyata hanya bisa untuk obyek-obyek yang datar.

Oleh karena itu, banyak aspek kecerdasan yang dilihat sebagai latihan ilmu pengetahuan yang domainnya spesifik, yang mesti dienkode dalam program-program yang mendetail, dan terpisah-pisah untuk tiap sub-domain. Konsepsi kecerdasan yang demikian mengarah pada pembentukan sistem-sistem pakar. DENDRAL (lihat Lindsay et.al 1980), yang mengkomputasi struktur molekul organik yang rumit, dan MYCIN (lihat Shor-tliffe 1976), yang mampu mendiagnosa infeksi-infeksi bakteri yang serius, merupakan pemula dari sistem pakar, dan sampai sekarang masih yang paling dikenal. Sistem-sistem pakar secara komersial kian berarti, biasanya dalam bentuk aides memoires yang canggih untuk membantu manusia, bukan untuk menggantikan keahliannya. Salah satu kekuatan utamanya adalah kemampuannya untuk mengolah informasi yang probabilistik, yang berguna untuk banyak jenis diagnosa.

Terobosan lain dalam riset pengolahan informasi semantik pada 1960 dilakukan oleh David Marr (lihat khususnya Marr 1982), yang berpendapat bahwa para ahli riset AI gagal untuk menyusun suatu teori komputasional dari tugas-tugas yang harus dikerjakan mesin mereka. Yang ia maksud dengan teori komputasional adalah perhitungkan output apa yang ingin dihasilkan mesin mereka dari input-input yang masuk, dan mengapa. Marr ingin menggabungkan bukti neuropsikologi dan psikologi perseptual dengan teknik-teknik komputasi AI dan bagian-bagian lain dari ilmu komputer untuk menghasilkan penghitungan yang mendetail dan logis tentang cara pandang manusia. Kendati ia tidak sepenuhnya berhasil ketika akhirnya ia meninggal dalam usia pertengahan 30-an, karyanya tentang level-level rendah dari sistem visual manusia masih menjadi contoh yang paradigmatis atas keberhasilan riset ilmu kognitif. Model-model komputasional Marr terdiri dari unit-unit yang diupayakan meniru perangkat-perangkat sel dalam sistem visual manusia. Dengan demikian ia memperkenalkan kembali teknik-teknik yang telah dikesampingkan oleh pendekatan pengolahan informasi Newell et. al. Koneksionisme (connectionism) adalah turunan yang lebih langsung dari pendekatan model syaraf yang terdahulu. Akan tetapi, unit-unit yang membangun model-model koneksionis tidak didasarkan pada klas-klas sel syaraf yang spesifik, sebagaimana model Marr. Marr mempersoalkan apakah AI tradisional bisa menghasilkan penjelasan-penjelasan perilaku kecerdasan, dan para koneksionis memper-tanyakan apakah sistem biologi, khususnya kecerdasan manusia , bisa dibuat modelnya. Jadi, tidak mengherankan kalau banyak ahli riset AI pada tahun 1980-an memperdalam aspek rekayasa (engineering) dari disiplin ilmu ini, dan memusat-kan perhatian pada aplikasi-aplikasi. Pada waktu itu, orientasi itu juga masuk akal karena pendanaan lebih tersedia untuk proyek-proyek yang hasilnya cepat terlihat. Gagasan-gagasan AI, kendati tidak dalam bentuknya yang murni, ditularkan ke sistern-sistem pakar, alat-bantu belajar, robot, mesin visi, sistem pengolah citra, teknologi bahasa dan percakapan yang semuanya komersial.

Malahan, teknik-teknik yang asalnya adalah Al kini menyebar dalam berbagai bentuk pengembangan perangkat lunak komputer, khususnya program-program yang dijalankan pada komputer pribadi (PC). Program-program berorientasi obyek mula-mula dibuat dalam bahasa AI, SMALLTALK. Sekarang semua itu diprogram dalam bahasa C++, salah satu bahasa baku untuk aplikasi-aplikasi Windows. Cara belajar merupakan topik masalah juga bagi AI tradisional. Pendekatan pengolahan informasi semantik berasumsi bahwa analisis atas suatu kemampuan, misalnya kemampuan bermain catur, berlangsung di tingkat abstrak; tidak tergantung pada perangkat keras yang dipakai (orang atau mesin), dan tidak tergantung bagai-mana perangkat keras itu mendapat kecakapan tersebut (lewat proses belajar atau diprogram).

Kemampuan untuk belajar itu sendiri merupakan kemampuan yang bisa dimodelkan dalam suatu program AI dan beberapa program AI memang program yang bisa belajar. Akan tetapi, semakin terasa kesulitan bahwa cara belajar itu sendiri tidak diperhatikan dan mesin tampaknya tidak mampu menjadi cerdas kecuali jika mereka bisa belajar sendiri. Lebih jauh, jenis cara belajar yang dimodelkan dalam AI masih sedikit. Sebagai contoh, program-program belajar konsep hanya mampu membuat konsep yang sedikit lebih rumit dari yang telah diprogram kepada mereka. Untuk beberapa jenis induksi mesin jenis cara belajar seperti ini sudah memuaskan, dan dapat memberi hasil menakjubkan pada mesin-mesin yang besar. Akan tetapi, keraguan akan keterbatasan metode-metode semcam ini tetap tak terjawab. Koneksionisme, dengan teknik-teknik pola abstraksi dan generalisasinya, dianggap oleh banyak kalangan sebagai jawaban bagi, paling tidak sebagian, persoalan-persoalan mengenai proses belajar yang telah memusingkan Al tradisional. Sebuah pendekatan lain mendasari diri pada analogi antara evolusi dan proses belajar, dan pada gagasan bahwa banyak jenis kecerdasan yang merupakan hasil evolusi, bukan hasil proses belajar secara individual. Genetic algorithms ditemukan oleh John Holland (lihat 1992) memperlihatkan, mungkin ini agak mengejutkan, bahwa program-program komputer bisa mengikuti suatu metode yang searah dengan evolusi yang berjalail lewat seleksi alam. Program-program itu dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang bisa dikombinasi ulang dengan aturan-aturan yang baku (sebagaimana bit-bit dari materi genetik dikombinasi-ulang lewat reproduksi seksual). Program-program baru itu kemudian diajari melakukan suatu tugas, dan program yang bekerja paling bagus lalu diseleksi untuk masuk putaran berikut-nya, dan sisanya dibiarkan gugur. Seperti dalam evolusi, proses ini mesti diulang berkali-kali agar keteraturan terjadi, sehingga sebuah program dapat rnelaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

Manfaat algoritma genetik adalah kedekatannva dengan disiplin baru yang disebut makhluk hidup buatan (artificiallife), yang cakupannya lebih luas dan lebih kontroversial ketimbang AI. Perdebatan mengenai makhluk-buatan sebenarnya banyak yang bersifat filosofis, dan acapkali itu paralel dengan perdebatan mengenai riset AI. Dua pertanvaan besar yang muncul karena AI. Pertama, benarkah mesin dapat menghasilkan kecerdasan, ataukah mereka hanya mensimulasi-kannya sebagaimana komputer meteorologi mensimulasikan sistem cuaca? Kedua, jika memang ada rnesin cerdas, apakah ada masalah moral atas keberadaan mereka? Secara potensial, mesin cerdas berbeda dengan komputer peramal cuaca, karena komputer-komputer tersebut tidak membuat hujan, sementara robot-robot bisa bertindak secara cerdas di dunia nyata. Namun pertanyaan di seputar moral ini, sebagaimana semua pertanyaan moral yang muncul dalam perkembangan ilmu pengetahuan, harus dijawab oleh masyarakat, bukan hanya oleh para ahli riset AI.

Mengulik bahasan kecerdasan buatan (artificial intelligence)

Title Post:
Rating: 100% based on 99998 ratings. 99 user reviews.
Author:

Terimakasih sudah berkunjung di blog SELAPUTS, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

  © Blogger template Noblarum by Ourblogtemplates.com 2021

Back to TOP  

submit to reddit