Istilah arkeologi acapkali dipakai untuk macam-macam hal yang berbeda; mulai dari yang umum hingga khusus, dalam berbagai konteks. Pada satu sisi ia mengacu kepada penggalian peninggalan kuno atau penggaliall tulang-belulang'. Akan tetapi sekarang, arkeologi lapangan sekali pun memiliki rentang aktivitas yang luas mulai dari riset, pembersihan dan perekaman benda industri (arkeologi industrial), arkeologi bawah-air hingga fotografi dari ketinggian udara. Kegiatan penggalian itu masih memakai konsep-konsep tradisional arkeologis seperti "konteks", "asosiasi" dan "penyusunan kembali" , namun juga telah menerapkan teknik-teknik ekstemal seperti metode pelacakan di bawah permukaan tanah dengan magnetometer, analisis tertentu untuk merekonstruksi lingkungan hidup di zaman dahulu, dan pengolahan data memakai komputer. Secara lebih umum, arkeologi sering diasosiasikan dengan apa yang dikerjakan oleh para arkeologis, termasuk apa yang lebih tepatnya digolongkan sebagai kajian pra-sejarah atau sejarah. Segenap rekonstruksi masa lalu yang didasarkan pada peninggalan masa lalu selain catatan tertulis bisa dikelompokkan sebagai arkeologi. Namun dalam arkeologi historis sering digunakan juga catatan-catatan tertulis sebagai bagian dari bahan penafsiran. Batas antara arkeologi dan sejarah (dan pra-sejarah) kini menjadi kabur, karena penafsiran atas lapisan-lapisan situs amat bergantung pada akumulasi pengetahuan tentang apa saja yang teriadi di tempat tersebut pada suatu masa. Karena amat sedikit peninggalan selengkap Pompeii dan arkeologi biasanya bersifat frag-mentaris dan meraba-raba, beban teoretisnya besar sekali.
Teori-teori dan paradigmanya acapkali berubah hanya karena sedikit saja perubahan data. Sampai sekarang masih terbentang luas lahan bagi imajinasi historis. Berbagai pandangan muncul tentang seberapa jauh kepastian dan kekuatan penafsiran yang bisa diperoleh dari rekonstruksi masa lalu atas dasar peninggalan arkeologis. Bahkan masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah arkeologi itu sesungguhnya ilmu sejarah atau antropologi. Sayangnya, kedua pedekatan itu biasanya saling bertentangan. Mereka yang menganut pandangan bahwa arkeologi adalah ilmu sejarah menekankan pada keunikan budaya masa lalu, tidak teramalkannya tindakan manusia, dan peran individu. Mereka menyatakan bahwa setiap kebudayaan masa lalu memiliki sistem nilai sendiri yang sulit direkonstruksi secara meyakinkan oleh para arkeolog. Pra-sejarah dan arkeologi sifatnya memang interpretatif. Bagi mereka yang mengatakan bahwa arkeologi tak lain dan tak bukan adalah antropologi dan mereka yang yakin akan metode lintas-budaya, bersekutu dengan penga-nut positivisme dan hukum-hukum evolusi serta hubungan-hubungan yang sistematis. Mereka menganggap bahwa penjelasan yang ketat terhadap kejadian-kejadian dalam masyarakat masa lalu bukanlah hal yang tidak mungkin. Minat atas penjelasan yang ilmiah terutama menguat di AS, namun dua sudut pandang tentang arkeologi ini memiliki tradisi yang sama-sama kuat.
Sejarah arkeologi Pemikiran mengenai masa lalu manusia telah dimulai sejak zaman dahulu, namun penelitian terhadap monumen dan artefak baru dimulai pada masa Renaissance dan meningkat pesat di abad 18 dan 19 sebagai bagian dari bangkitnya minat, kebanggaan dan identitas nasional. Arkeologi awal ini bermula dari studi ketimuran dan peninggalan terkenal seperti Pompeii, perekaman monumen-monumen Eropa seperti Stonehenge dan Carnac, dan minat pada kajian tentang asal-usul manusia yang awalnya dibangkitkan oleh geologi dan biologi. Perhatian mereka mula-mula tertuju pada upaya penyusunan tahap-tahap kronologi perkem-bangan kebudayaan manusia. Pada awal abad sembilan-belas di Denmark, C.J. Thomsen mengelompokkan peninggalan-peninggalan kuno menjadi kelompok batu-batuan, perunggu dan besi, dan memberi makna kronologis pada masing-masing kelompok, J.J.A. Worsae membuat pembuktian stratigrafikal atas tahap-tahap itu. Skema tersebut didasarkan pada landasan arkeologis yang berhubungan dengan perkembangan peradaban dari zaman berburu hingga terbentuknya peradaban modern. Gagasan tahap-an peradaban Sven Nilsson pada paruh kedua abad sembilanbelas itu dikembangkan lebih lanjut oleh Sir Edward Taylor dan Lewis H. Morgan, dan mempengaruhi Marx dan Engels. Nuansa evolusi dalam arkeologi, dalam perdebatan tentang asal-usul manusia, berkait erat pula dengan Charles Darwin. Dalam masa awal perkembangan arkeologi ini, pendekatan evolusi bergandeng erat dengan kecenderungan lintas-budaya, optimisme ilmiah, dan pemikiran bahwa masyarakat berkembang mulai dari taraf barbar hingga menjadi masyarakat industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.