Mengintip kenapa investor lebih suka menyimpan kekayaan ke tabungan atau deposito di bank
Teori ini menganggap pasar-pasar selalu efisien, dalam pengertian harga-harga yang berlaku di pasar senantiasa mencerminkan informasi yang tepat sekaligus menunjukkan tingkat keuntungan yang bisa diharapkan investor. Hal ini juga menandakan bahwa pasar-pasar modal itu mampu mengalokasikan modal dengan cara yang paling ekonomis antara berbagai kemungkinan penggunaan sehingga intervensi pemerintah tidak akan berpengaruh, atau bahkan tidak diperlukan. Pada tingkat internasional, teori itu memprediksikan adanya mobilitas modal yang sangat tinggi antar-negara. Para pengusaha atau pemerintah di suatu negara bisa memperoleh modal dalam jumlah berapa pun asalkan mereka dapat menyediakan peluang investasi yang cukup menguntungkan dengan tingkat resiko yang bisa diterima (tidak melebihi biaya internasional dan ditunjang premi resiko yang sesuai). Kelancaran fungsi dunia permodalan seperti yang dikemukakan di atas nampaknya terlalu hebat untuk dipercaya. Serangkaian pengujian empiris temyata menunjukkan hasil-hasil yang tidak sebaik itu. Demikian pula dengan serangkaian uji statistik yang secara umum menolak hipotesis pasar yang sangat efisien tadi (penolakan ini antara lain dapat dijelaskan oleh beragamnya prerni resiko meskipun keragaman itu sendiri tidak terlalu besar). Tetapi informasi yang diberikan pasar masih tetap merupakan informasi terbaik bagi siapa saja yang berkepentingan dengan strategi investasi. Itu berarti, dalam batas tertentu pasar-pasar modal memang efisien.
Setiap investor ingin menggunakan semua informasi yang ada untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin. Hanya saja informasi seperti itu bisa dikatakan tidak ada, sehingga para investor akan dengan senang hati menerima informasi yang lebih sederhana, selama hal itu memungkinkan mereka memperoleh keuntungan yang wajar. Dan karena itulah mereka mau mengandalkan informasi dari pasar yang "nyaris efisien" itu. Bertolak dari fakta ini, maka teori di atas layak untuk diterima. Sampai sekian jauh kita belum menyebut-nyebut uang. Sesungguhnya uang dalam bentuknya yang tradisional memang sudah sangat jarang digunakan di pasar-pasar modal yang kian lama kian canggih. Di pasar itu terdapat sistem kliring raksasa yang mampu melaksanakan transaksi dalam jumlah yang sangat besar dalamwaktu yang sangat singkat. Jika seseorang memiliki rekening pada sistem tersebut, maka ia dapat mengadakan jual-beli secara elektronik sehingga uang tunai sama sekali tidak diperlukan. Namun fakta bahwa berbagai barang kebutuhan sehari-hari masih dibeli dengan uang tunai tidak bisa diabaikan sehingga terlepas dari secanggih apa pun pasar modal dan pasar uang yang ada, uang tunai masih tetap diperlukan. Sistem kliring bi-asanya digunakan untuk transaksi-transaksi bernilai besar yang aspek keamanannya haws diutamakan, sedangkan uang tunai diperlukan untuk berbagai transaksi kecil sehari-hari. Di samping itu, sistem kliring memerlukan perangkat pendukung canggih yang melibatkan berbagai jaring-an (misalnya sistem telepon) dan hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki akses ke jaringan-jaringan tersebut. Perhatikan bahwa pasar-pasar modal dan uang tidaklah sama. Uang merupakan alat pertukaran yang bisa digunakan di semua pasar, sedangkan pasar modal memperdagangkan modal dan bisa mempergunakan berbagai alat pertukaran untuk melaksanakannya mulai dari suatu sistem kliring atau uang tunai. Uang tunai merupakan bagian dari portofolio investasi, mengingat uang juga berfungsi sebagai alat penyimpan kekayaan. Namun karena penyimpanan uang tunai tidak membuahkan hash l (bunga) maka para investor jelas akan lebih suka menyimpan kekayaannya berupa tabungan atau deposito di bank. Begitu uang muncul sebagai alat pertukaran, maka ia pun menjadi landasan berfungsinya perekonomian secara keseluruhan.
Sebagian besar transaksi dilakukan dengan uang, dan sebagian yang lainnya (terutama yang bernilai besar) akan dilakukan dengan cek atau kartu kredit meskipun ini juga didasarkan perhitungannya pada satuan uang. Setiap orang yang menguangkan cek atau menutup rekening kartu kreditnya pasti akan kembali memperoleh uang tunai. Jadi pada akhirnya uang lagi yang akan digunakan. Hanya saja ketika kegiatan ekonomi kian canggih, kian banyak transaksi yang dilakukan tanpa menggunakan uang tunai. Dalam transaksi jual beli antar perusahaan misalnya, yang melalui perantaraan bank, kedua belah pihak tidak mengadakan serah terima uang tunai melainkan sekedar mengadakan perubahan angka-angka pada rekening keduanya di bank masing-masing. Sejauh mana uang mempengaruhi perekonomian dan pasar-pasar uang? Uang, sebagai unit atau satuan hitung, mengandung indikasi tingkat harga. Artinya jumlah uang yang diperlukan untuk membayar suatu barang ditunjukkan secara langsung oleh angka-angka yang tertera pada lembaran kertasnya. Suku bunga juga selalu dinyatakan dengan uang, selain dalam persentase tahunan. Berbagai kontrak permodalan seperti jual-beli saham, juga tidak didasarkan pada pangsa kepemilikan perusahaan yang diwakili oleh saham-saham itu melainkan pada nilai-nilai moneter atau nilai uang dari saham-saham tadi. Pemerintah atau bank sentral merupakan pihak yang paling berwenang dalam mengatur kuantitas uang karena bank sentral itulah yang punya hak untuk mencetak uang sehingga dengan sendirinya bank sentral itu pula yang sangat mempengaruhi tingkat harga-harga yang berlaku (termasuk suku bunga yang merupakan harga atau besaran sewa uang). Karena setiap orang masih memerlukan uang tunai untuk melaksanakan transaksi sehari-hari, penambahan atau pencetakan uang oleh pemerintah akan menyediakan lebih banyak uang ketimbang yang dibutuhkan semula. Teori-teori awal mengenai uang. seperti kuantitas, meningkatkan resiko pencetakan uang seperti itu sehing-ga para penganutnya menegaskan bahwa tingkat penawaran uang harus senantiasa disesuaikan dengan volume transaksi atau tingkat permintaannya. Di dalamnya harus pula tercakup perhitungan mengenai tingkat harga-harga yang berlaku agar tidak terjadi kesenjangan antara penawaran dan permintaan uang.
Kebijakan penawaran uang pemerintah tersebut cenderung mening-katkan tingkat pembelanjaan modal dan konsumsi sehingga, jika perekonomian yang bersangkutan telah berada pada kondisi full employment, maka tingkat harga atau inflasi akan terpacu. Tindakan langsung pemerintah dalam meningkatkan harga-harga sama saja dengan tindakan memacu inflasi, dan jika hal ini tidak segera dicegah maka tingkat permintaan uang akan ikut naik dan dalam waktu selanjutnya ini akan memacu kenaikan penawaran uang lebih lanjut dan terciptalah lingkaran setan inflasi yang tidak berkesudahan. Pola pemikiran yang mengasumsikan adanya kondisi full employment sangat kentara pada pemikiran ilmu ekonomi sebelum Perang Dunia Pertama. Uang pada intinya dipandang sebagai instrumen untuk mengontrol tingkat harga. Secara langsung, tingkat harga dapat dikontrol melalui pencetakan uang, dan secara tidak langsung kontrol itu dapat dilakukan melalui pembakuan suku bunga atau pembatasan tingkat harga. Setelah Perang Dunia Pertama, terjadi Depresi Besar yang kemudian memaksa perhatian para ekonom, terutama J. M. Keynes mengenai bagaimana kontraksi moneter menekan output dan lapangan kerja (jadi bukan hanya harga). Jawabannya nampaknya adalah sebagian besar kontrak pembelian barang dan tenaga kerja selalu dinyatakan dalam satuan uang dan direnegosiasikan pada periode tertentu sehingga harga hanya dapat berubah secara perlahan. Jadi terjadinya perubahan mendadak pada kondisi-kondisi moneter (entah itu paritas emas, suku bunga, atau jumlah uang yang dicetak) maka dampak langsung yang ditimbulkannya adalah terhadap out-put. Jika hal ini terjadi, maka kebijakan-kebijakan moneter akan membuahkan hasil yang saling berbeda dan tidak bisa diprediksikan. Pemerintah harus jeli menentukan aspek mana yang harus dibidiknya, entah itu stabilisasi penawaran uang, penstabilan tingkat harga, atau suku bunga. Perdebatan mengenai perlu-tidaknya pembakuan nilai tukar atau kurs sesungguhnya bertolak dari hal itu.
Bukti-bukti yang ada nampaknya menunjukkan bahwa untuk sebuah perekonomian moderen yang sering menghadapi kejutan permintaan dan penawaran maka sistem nilai tukar yang lebih baik baginya adalah sistem nilai tukar mengambang atau fleksibel, karena sistem ini memungkinkan penyesuaian daya saing secara cepat dan juga perubahan suku bunga setiap saat sesuai dengan kondisi ketenagakerjaan. Pengalaman mekanisme Nilai Tukar Eropa (ERM, European Exchange Rate Mechanism) turut membuktikan hal itu. Pemikiran moneter modern (antara lain yang bersumber dari karya para tokoh monetaris seperti Milton Friedman dan Karl Brunner) menerima gagasan tersebut hanya untuk jangka pendek, namun untuk jangka panjang mereka tetap menerapkan pemikiran klasik (yakni kebijakan moneter hanya akan memberi dampak terhadap harga-harga, sehingga kebijakan moneter itu hanya cocok diterapkan untuk mengatasi inflasi atau mengatur suku bunga sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan para investor). Namun belum ada kesepakatan mengenai bagaimana mekanisme proteksi jangka pendek itu bekerja .Sejumlah teorisi moneter menekankan pentingnya ketersediaan kredit ketimbang faktor biava (suku bunga) sebagai wahana yang memungkinkan berfunqsinya kebijakan moneter secara efektif.
Penqalaman yang ada selama periode "kelangkaan kredit" seperti yang terjadi di Amerika Serikat di tahun 1990 (ketika pemerintah menerapkan kontrol yang relatif ketat terhadap pasar-pasar modal). Namun jika pasar-pasar modal dibebaskan dari kontrol apa pun, maka mungkin saja kredit yang dibutuhkan itu justru tidak tersedia mengingat dana menjadi kian bebas bergerak kemampun untuk mencari peluang investasi yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.