Ini adalah usaha untuk memahami produksi dan kon-
sumsi seni sebagai efek, refleksi, atau rep-
resentasi dari proses sosial umum. Karena
bukan disiplin yang didefinisikan secara
tegas, atau karena tak punya metodologi
uniter, sosiologi seni lebih baik dilihat se-
bagai bagian atau alat dari sejumlah dis-
iplin ilmu lain. Disiplin-disiplin tersebut
mungkin berupa penulisan sejarah dan
sejarah seni, antropologi sosial atau studi
subkultur, studi historis, dan sosiologis
atas kelas dan kelompok sosial, Soctolocv
oF KNowLEncE, linguistik dan kritik seni.
'Walaupun hubungan itu mungkin bisa di-
perdebatkan (Wolff, 1981), sosiologi dan
sejarah seni yang dipraktikkan sebagai
sebentuk sejarah sosial akan dikelompok-
kan bersama di sini. Salah satu pionir dari
kedua bidang itu, Pierre Francastel, telah
mengelompokkannya pada 1940-an. Dia
juga mengatakan (Francastel,1.965, h. 16)
bahwa subjek tersebut dalam dirinya sen-
diri merupakan karakteristik dari pemiki-
ran ahli sejarah pada periode modern, dan
menyarankan agar ia tidak dikembangkan
lebih dari "fungsi nilai-nilai."
Ekspresi "sosiologi seni" mengartiku-
lasikan dua istilah yang memiliki sejarah
berbeda. Kata "sosiologi" muncul di abad
ke-19 sebagai nama untuk berbagai metode
penelitian masyarakat manusia, sedangkan
"seni", sebaliknya, dipakai sejak zaman
kuno. Pada periode itu seni mengandung
arti serangkaian fenomena mulai dari ke-
ahlian praktis, konseptual, atau erotis,
hingga ke lukisan kuda, dan dari "galeri
seni" hingga ke gaya hidup. Definisi "seni"
di masa modern mencakup hal-hal seperti
kegiatan melukis, mematung, mencetak,
dan sebagainya, yang diakui sebagai ben-
tuk produksi yang mengombinasikan kerja
manual dengan nilai estetika dan etika, dan
dilakukan oleh orang yang memiliki bakat
khusus (\Tittkower dan'Wittkower, 1963).
Kategori "seni" ini, setelah ia dikonso-
lidasikan dan direproduksi sebagai prak-
tik kesenian, kurator, sejarah seni, dan
sebagainya, berfungsi secara retrodiktif
(retrodictiuely). Materi-materi seni, yang
berasal dari waktu yang berbeda, tempat
berbeda, atau terpisah secara sosial, kemu-
dian dikumpulkan dan dijual, dipamerkan,
atau dikritik secara formal. Galeri-galeri
nasional mulai didirikan pada abad ke-19
atau sesudahnya, seperti Louvre di Paris,
dan banyak benda dikelompokkan sebagai
benda seni di galeri itu meski pada saat
benda itu diproduksi ia tidak dianggap se-
bagai benda seni. Karenanya, implikasinya,
sosiologi seni besar kemungkinan meng-
hadapi objek pengetahuan yang akan terus
bermasalah dari sudut pandang kekhusus-
an historisnya. Sosiologi semacam ini cen-
derung menolak gagasan Kantian tentang
seni sebagai objek penilaian estetika yang
netral dan kategoris, dan ia lebih bertujuan
menjelaskan, ketimbang menyepakati, ide
kreativitas artistik dan personalitas sebagai
kondisi sosial penting. Keduanya harus
dilihat sebagai manifestasi spesifik dari
kondisi sosial, dan itulah mengapa, seperti
dikatakan Pierre Bourdieu (1980, h.2071,
"Perkawinan sosiologi dan seni menghasil-
kan rumah tangga yang buruk."
Karenanya akan berguna untuk me-
mikirkannya dari segi perkembangan dari
pemikiran Marx dan Engels (1845-6) ten-
tang aspek ekonomi politik dari kebuda-
yaan ke kritik sistematis Bourdieu terhadap
penilaian Kantian, atau dekonstruksi femi-
nis terhadap kreativitas sebagai kategori
yang secara historis didasarkan pada gen-
der, atau penolakan nilai artistik "Barat"
pascakolonial (Bourdieu, 1.979; Nochlin,
L989; Pollock, 1988; Said,1978; Tickner,
1988). Aspek penting dari sosiologi seni
adalah hubungan oposisionalnya terha-
dap apa yang dianggap sebagai AesrHlrrca
konservatif, entah itu diartikulasikan me-
lalui rasionalisme filosofis arau melalui
tuntutan pasar seni. Jika diletakkan dalam
bidang politik yang sangat kompleks dan
terdiferensiasi, sosiologi seni bertujuan
menunjukkan bahwa "seni" sebagai kat-
egori akan selalu, dan dalam banyak hal,
dikendalikan. Pada saat yang sama sosi-
ologi seni terus mengkaji problem spesifitas
seni dan persoalan penjelasan menyeluruh
terhadap makna seni (Wolff, 1981.; Fran-
castel, 1965; Duvignaud, 1967; Raphael,
le68).
Keretakan dalam karakteristik subjek
ini akan lebih jelas jika ke dalam kategori
seni itu dimasukkan pula Musrc dan Lnsn-
AruRE. Sekarang basis paradigmatik untuk
sosiologi seni dianggap tak terpisahkan
dari problem cara menyusun teori unsur-
unsur dari bentuk kultural modern. Ula-
san dan teori tentang formasi kebudayaan
modern dari penyair abad ke-19 Charles
Baudelaire hingga ke tulisan Kracauer
(1937), Bloch (1985), dan Adorno (L963)
difokuskan pada bentuk musikal sebagai
model diskursus artistik. Karya Lukdcs
(1,9701 dan Goldman (1967) menyediakan
metode yang darinya sosiologi seni men-
gambil banyak prinsip dasarnya. Jadi,
sejarawan seni seperti T.J. Clark (1973)
yang bersama dengan Manet dan Courbet
menempatkan teori di puncak agenda seni-
historis, dengan menyandarkan diri pada
bidang teoretis di mana seni visual masih
menempati posisi marginal.
Konsepsi "seni" jr'tga distratifikasi-
kan oleh gagasan seperti "seni populerr"
"seni untuk rakyat", "seni tradisional"
atau "seni etnis", dan bahkan "seni poli-
tik" atau "seni wanita". Untuk mema-
hami semua jenis ini, dan hubungan di
antara mereka, mungkin membutuhkan
bermacam-macam metode penelitian yang
mengombinasikan etnologi, psikologi
atau psikoanalisis dengan aspek-aspek
dari metode sosiologi yang berbeda-beda.
Dalam karya sejarawan sosial, "seni" seb-
agai elemen ritual di kalangan petani pede-
saan, atau sebagai praktik religius longue
dur6e, merupakan objek analisis yang
berbeda dari "seni" yung sebagai nilai so-
sial sebagaimana dipahami oleh Bourdieu
(1,979) dan Moulin (1967). Memang su-
lit untuk menganggap bahwa bentuk seni
tradisional seperti ex-uoto (lukisan sebagai
ucapan terima kasih) di Perancis abad 18
(Cousin, 1980) sebagai seni yang termasuk
dalam formasi kultural yang sama dengan
seni salon kontemporer, apalagi mengang-
gapnya sebagai seni yang sama dengan seni
lukisan auant-garde modern. Akan tetapi,
kita harus mengasumsikan bahwa studi
sosiologis terhadap semua bentuk seni ini
akan memandang nilai estetika sebagai ba-
gian dari sistem keyakinan yang mendasari
karya individual.
Dalam karya sejarawan seni sosial An-
tal (1948) dan Klingender (1968), pemaha-
man seni membutuhkan diferensiasi yang
radikal dan halus antara publik, patronase,
dan kondisi produksi untuk karya seni
yang berbeda jenisnya. Florentine Paint-
ing karya Antal dan Art and the Industrial
Reuolution karya Klingender menunjuk-
kan bentuk baru sejarah sosial sebagai
sejarah seni-di mana seni lebih berperan
sebagai penanda (signifier) ketimbang seb-
agai ilustrasi. Praktik seni di Florence abad
ke-14 atau Inggris abad ke-19 menjadi
contoh utama dari proses formasi dan rep-
resentasi sosial.
Menurut Baxandall (1980), dalam
karyanya tentang seni patung Jerman abad
ke-15, bahkan fungsi si pembuat karya di-
anggap sebagai efek dari kondisi produksi
yang tidak merata dan kompleks, dan
efek dari perseteruan kepentingan antara
seniman dan patron. Pematung memberi
tanda pada karyanya untuk menunjukkan
posisinya dalam hubungan yang tidak seja-
jar dengan patron yang memiliki alat-alat
produksi. Tanda itu merupakan semacam
pengambilan kekuasaan ketimbang seba-
gai lokus kreativitas. Karya Baxandell
menunjukkan cara di mana proposisi
teoretis dari Foucault (1.969) dapar dikaji
ulang melalui proses historis jangka pan-
jang. Tetapi, karya ini juga menunjukkan
bahwa kritik historis dan sosiologis terha-
dap ide "seniman" membutuhkan berba-
gai macam teknik penelitian yang cermar.
Pemahat abad ke-15 tidak bisa dimasuk-
kan dalam kerangka yang sama dengan
"jenius gila" abad ke-18 seperti Vincent
van Gogh. Bahkan jika keduanya bisa dil-
etakkan dalam kerangka sistem keyakinan
modern tentang seni, kekhususan sejarah
mereka, sebagai sistem itu sendiri, harus
dibedakan dengan hati-hati.
Barangkali juga bisa dikatakan bahwa
perhatian sosiologis yang lebih luas ter-
hadap seni sudah ada sebelum munculnya
istilah sosiologi dan gagasan modern ten-
tang seniman. Aspek prasejarah ini dapat
ditemukan dalam diskusi dari French Roy-
al Academy di abad ke-18 di mana saat itu
lazim untuk menjelaskan supremasi seni
Yunani kuno dengan menunjukkan bahwa
bangsa Athena adalah masyarakat yang
makmur dan sehat. Argumen Akademi
yang ditopang oleh kategori di luar esteti-
ka, seperti iklim, koherensi tatanan sosial,
dan kebijakan patron, guna menjelaskan
dan mendefinisikan kualitas artistik yang
berkembang bersama dengan relativisme
kultural dan materialisme dalam karya
Montesquie atau Diderot. Pada akhir
abad, pembela teokrasi Louis de Bonald
juga mampu menjelaskan perubahan ar-
tistik yang pada gilirannya bisa menjusti-
fikasi kebutuhan akan adanya kontinuitas
sosial (Reedy, 1.986).
Pada 1840-an, ketika artis ekspresif
mulai mengemuka, karya seni dibaca se-
bagai semacam gejala sosial. Proudhon,
dengan karyanya Du Principle de I'art et
de sa destination sociale (1865), adalah to-
koh utama yang mencoba mengkonstruksi
sejarah seni modern. Interpretasinya atas
karya seni dari seniman seperti Jacques-
Louis David dan Gustave Courbet mengar-
tikulasikan teori sosial dan politik umum.
Pada pertengahan abad, baik di Perancis
maupun Inggris, seseorang umumnya bisa
membaca sejarah seni, kritik seni, atau
esai tentang seni rakyat, dan juga diskusi
tentang kemajuan industri atau [.Jniuersal
Exhibitions, yang menggunakan beberapa
sistem referensi sosial dalam memahami
seni sebagai penanda zaman. Dapat di-
katakan bahwa konsep seni sebagai ses-
uatu yang inheren dalam konteks sosial
telah menyebar sejak 185O-an. Seperti
dikatakan Thor6-Burger dalam ulasannya
terhadap Parisian Salon 1855, "Bukankah
seni itu sendiri merepresentasikan tradisi
historis, kehidupan riil dari orang-orang?"
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa
banyak teks yang menjelaskan seni dalam
term sosiologis tidak mengelaborasi so-
siologi seni sebagai tujuan primer. Jadi,
karya Champfleury (1869) rentang seni
rakyat Perancis atau karya'Wagner (1849)
tentang asal usul rasa dan ekspresi artistik,
difokuskan pada problem pendefinisian
Currunn nasional. Pengkajian seni sebagai
bagian dari pembentukan kesadaran nasi-
onal muncul lagi pada I920-an dan 1,930-
an. Di Italia, Gramsci 91985) memahami
konsumsi komik detektif dan opera sebagai
tanda kelemahan dalam formasi kelas pro-
letar, sedangkan di Jerman ide seni modern
sebagai tanda dekadensi terus dielaborasi.
Pada titik tertentu dalam perkembangan-
nya, sosiologi seni amat dipengaruhi oleh
beragam diskursus tenrang sosiabilitas
seni.
Sosiologi seni yang berpotensi siste-
matik secara umum diakui mulai terlihat
dalam tulisan Marx dan Engles dan tulisan
sejarah seni dan literatur karya Hyppolite
Taine. Taine terkenal buruk karena formu-
la deterministik "lingkungan, ras dan mo-
men" (Taine, 1853), yang sudah muncul di
abad sebelumnya, tetapi pengaruh Taine
dalam sosiologi profesional atau dalam
sejarah sosial kruang signifikan dibanding-
kan Marxisme. Dalam German ldeology,
Marx dan Engels berusaha menjelaskan
kekuasaan dan signifikansi seniman Re-
naisans seperti Raphael dalam term proses
historis kompleks:
Raphael dan kebanyakan seniman lain
dipengaruhi oleh kemajuan teknik dalam
bidang seni, oleh organisasi masyarakat
dan divisi kerja di lingkungannya, dan
terakhir, oleh divisi kerja di seluruh
negeri yang punya hubungan dengan
lingkungan rempar dia berada.
Marx dan Engels di sini menenrang
gagasan individual ,,unik,' yang diusul_
kan oleh Max Stirner, tetapi dalam meng_
ajukan penentangan ini mereka mulai
memetakan kerangka hubungan sosial dan
ekonomi yang membentuk sebagian dari
struktur konseptual sosiologi seni di masa
sekarang.
Mereka juga berusaha mendefinisi_
kan seni sebagai mode produksi spesifik,
dengan menunjuk pada penjualan media
pers kapitalis pada 1830-an dan 1g40-an
sebagai pembuka munculnya novel ber-
seri. Dalam Theories of Surplus Value, di
mana diskusi ini dikembangkan, mereka
meletakkan dua parameter yang bertahan
sampai kini. Salah satunya adalah kajian
atas seniman sebagai tipe pekerja tersen_
diri yang pada dasarnya adalah .,tenaga
kerja yang tidak produktif',. yang kedua
adalah kajian atas "komodifikasi,' seni
tindakan kapitalisme yang mengkonversi
status historis seni menjadi sekadar ba-
rang jualan atau pertukaran, entah itu dari
segi uang atau ideologi (Marx dan Engels,
1,976). Di sini sekali lagi merupakan titik
awal untuk diskusi tentang relasi seni dan
masyarakat yang berbeda dengan diskusi
yang dilakukan oleh Gyorgy Luk6cs, The-
odor Adorno, Walter Benjamin, atau pierre
Bourdieu. Sosiologi seni mungkin berada
di pusat Marxisme abad ke-20. Tetapi,
konsep alienasi yang menjadi dasar kesedi-
aan Benjamin menerima definisi populer
dan dasar dari definisi Adorno tentang seni
sebagai negasi kekuatan sosial yang meng-
hasilkannya.
Belakangan ini, dalam tulisan Jacques
Ranci6re, negativitas Adorno dipakai un-
tuk mengevaluasi kembali estetika Kan-
tian. Jika aspek transenden dan negatif
tersebut dapat dibaca melalui satu sama
lain, maka harapan akan seni harus dipa_
hami dalam term negasi atas struktur sos_
ial (Ranci6re, 1983). Dari sudut pandang
ini, penjelasan Bourdieu tentang produksi
dan konsumsi seni sebagai konfirmasi dan
reproduksi status sosial ternyata tidak me_
madai untuk menjelaskan kompleksitas
identitas sosial, dan menyebabkan sosiolo_
gi seni terkesan sebagai ilmu yang kosong.
Secara analog, baik itu diskursus feminis
maupun pascakolonial menunjukkan bah_
wa sosiologi seni harus dikaji ulang secara
radikal. Pemahaman seni sebagai bentuk
dominasi atau sebagai cara untuk menaik-
kan nilai/status sosial adalah pemahaman
yang merigandung banyak tafsir dan ter_
buka, selalu terbaras dan terus dikaji ulang
dalam kondisi sejarah tertentu.
Dalam esai tahun 1923,..On rhe in_
terpretation of 'Webanschaxtung,,, Karl
Mannheim menjelaskan problem ini dalam
sosiologi kebudayaan (dalam Mannheim,
1952). Dia menolak prosedur reduktif
analisis kultural yang diambil dari model
ilmu alam, dan dia berusaha menunjukkan
bagaimana pemahaman rentang makna
"objektif", "ekspresif", dan ..dokumenter"
dari objek kultural akan menghasilkan
pemetaan kompleks dari hubungan totali_
tas sosiokultural yang paralel, tetapi tidak
selalu bersifat kausal. Metode rumit yang
diusulkan Mannheim untuk menganalisis
kebudayaan secara keseluruhan itu jelas
membutuhkan keahlian yang sama dengan
keahlian analisis dari mazhab Sejarah Seni
'Warburg. Studi lukisan Botticelli (\find,
1958), misalnya, membutuhkan penge-
tahuan tentang sosiabilitas level kultur
yang berbeda-beda, mulai dari fenomena
keseharian sampai ke ulasan atas teks-teks
klasik. Karya seni yang istimewa menjadi
titik di mana bentuk pengetahuan tertentu
dan praktik kultural menemukan artiku-
lasi totalnya.
Tetapi, walaupun pendekatan ini ber-
manfaat untuk menarik makna suatu
karya seni berdasarkan data sosial atau
untuk memahami kondisi sosial berdasar-
kan kajian karya seni, gagasan tentang ob-
jek kultural sebagai ekspresi totalitas atau
sebagai "fakta sosial total" telah menjadi
bahan perdebatan. Karya seni mungkin
termasuk dalam satu atau lebih ienis pen-
getahuan. Jadi pemahaman publik atas
Ir",u lukisan bisa dimasukkan ke dalam
kajian psikoanalisis, yang tersirat dalam
mode scopophilia' tanpa perlu menggu-
nakan kaiian stratifikasi sosial' Atau' ba-
rangkali dimasukkan sebagai kaiian atas
kelJmpok sosial yang memiliki askes ke
pasar seni dan ingin menaikkan gensinya
i.rrg"n membeli karya seni' Dua lukisan
yang sezaman mungkin diterima secara
irnr, -.n.mpati posisi yang sama dalam
bahasa tanda visual, tetapi sekaligus mung-
kin berasal dari perkembangan pendidikan
seni serta sistem produksi dan distribusi
yang berbeda. Kritik seni barangkali bisa
dipahami dari segi hubungannya.dengan
diskursus sastra dan politik dan dari segi
tuiuan kritik itu. Perkembangan dan kon-
figurasi seiarah sosial dan sosiologi seni
di masa depan mungkin akan tergantung
kepada p.nguk.,n" akan diversitas prob-
lem yant ada di dalamnya' Agar bisa ber-
guna, kntya interdisipliner mungkin harus
L.t.ri-t bahwa perbedaan itu lebih ter-
struktur ketimbang totalitas'
art, sociology of / sosiologi seni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.