Nilai-nilai Asia adalah ungkapan yang menganclung dua
makna. Di satu pihak, ia berarri sebagian
dari nilai kemanusiaan pada umlrmnya,
yang diungkapkan oleh para antropolog
selama penelitian etnografi atau diicientifi_
kasi oleh para sosiolog dan ekonom yang
meneliti jalan modernisasi Asia. Dalam
konteks ini, "nilai-nilai Asia,' diartikan
sebagai konsep ilmiah untuk menjelaskan
kekhususan kultural dan perekonomian
Asia. Biasanya perdebatan yang muncul
diarahkan pada seberapa kondusif nilai
Asia bagi pertumbuhan yang konsisten,
semacam argumen Yang membalikkan
klaim terdahulu yang menyatakan bahwa,
misalnya, Konfusianisme adalah pengha-
lang kuat bagi kapitalisme modern' Di lain
pihak, sekarang ini "nilai-nilai Asia" tidak
dnp", dipisahkan dari penegasan beberapa
pemirnpin Asia yang menolak kritik terha-
iap caiutun hak asasi manusia mereka dan
uniuk menegaskan bahwa, pada tingkat
tertentu, ntasyarakat Asia lebih baik-le-
bih etis, kohesif, dan disiplin-ketimbang
masyarakat Barat yang sedang mengalami
dekadensi.
Istilah "nilai-nilai Asia" mulai me-
noniol pada 1980-an dan 1'990-an setelah
kesuksesan "Macan" ekonomi Asia (Sin-
gaplrra' Malaysia, Taiwan, Hong Kong'
lun Kot.u Selatan) dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan'
Akan tetapi, istilah ini dalam beberapa hai
bersifat defensif. Istilah "nilai-nilai Asia"
ini didukung dua tokoh terkemuka-Lee
Kuan Yew dari Singapura dan Mahathir
Mohammad, mantan perdana menteri Ma-
laysia-dan dipakai untuk membela diri
dari kritik yang mengecam rezim autoritar-
ian di Asia. Menurut Lee dan Mahathir, ni-
lai Asia tidak hanya mendasari kesuksesan
"Macan" Asia pascaperang' tetapi juga
merupakan bukti dari bentuk masyarakat
yanglebih unggul (Mallet, 1'999)' Budaya
Asia yang mendukung kerja keras, disiplin'
dan penghematan; komitmen pada keh'rar-
g^ drn masyarakat; kesediaan untuk patuh
l"n -..g,rtamakan kewaiiban di atas hak;
semua itu dikontraskan dengan "nilai"
berlawanan yang lebih individual, yang
menyebabkan tingginya angka keiahatan'
p.r..r"i"rr, keluarga berorang tua tunggal'
penyalahgunaan narkoba dan-yang di-
o.,gg"p sumbernya-individualisme khas
Barat (yang merupakan dasar dari ma-
syarakat AS).
Setelah guncangan finansial 1997 di
Asia, yang menyebar hingga ke Asia Teng-
gara dan lingkaran Pasi6k, nilai-nilai Asia
,"ntilai diragukan. Tetapi konsep ini selalu
problenratik dan bukan hanya karena kon-
sep ini mengecualikan India' Keberatan
utamanya adalah konsep ini mendistorsi
wilayah yang terkenal karena kekayaan
diversitas kulturalnya (Budha, Tao, Hindu,
Shinto, Kristen); sistem politiknya yang
heterogen-demokratis (Taiwan), semi-
demokratis (Hong Kong), sosialis (PRC),
junta militer (Burma), dan sebagainya;
variasi tahap perkembangannya (Schwen-
kter, 1998); dan pesaingan antar-etnis: mi-
salnya antara etnis Cina dengan kelompok
pribumi di Malaysia dan Indonesia (Lan-
des, 1'999, h. 475-80)' Keberatan lainnya
ditujukan pada argumen bahwa Timr"rr dan
Barat merupakan entitas yang lebih kero-
pos ketirnbang yang dibayangkan (Goody,
1,996); bahwa masyarakat Asia memiliki
tradisi toleransi dan skeptisisme religius
yang kuat (Sen, L999); dan bahwa ada
nada rasis dalam pernyataan bahwa Asia
yang "riil" tidak dapat mendukung kebe-
basan individual dan pemerintahan yang
demokratis.
Apakah konsep "nilai-nilai Asia" han-
yalah kamuflase untuk menutupi kronisme
yang dilembagakan, transparansi yang le-
-"h, korrpsi, pemerintahan otoriter, dan
represif? Situasi sebenarnya adalah lebih
kompleks. 'Walaupun internasionalisasi
('Glotnt.tz,noN') semakin melemahkan
batas-batas kultural, masyarakat Asia
masih beragam dan arnat berbeda dengan
masyarakat Barat. Keiuarga inti, misalnya'
lebih stabil di Korea dan Jepang ketirnbang
di Amerika; angka keiahatan juga lebih
rendah (Fukuyama , 1999, h' 130-9)' Ha-
nya sedikit orang di dunia, termasuk orang
Asia, yang bekerja lebih keras ketimbang
orang Cina perantaLlan' Ringkasnya, ke-
khususan kultural, kebiasaan, dan adat
yang kuat masih bertahan di Asia' Jadi'
kita harus mengakui dan menielaskan fak-
tor-faktor ini sambil menghindari simpli-
fikasi yang dilakukan para politisi yang'
meminjam kata-kata Warren Christopher'
menggunakan relativisme kultural sebagai
ir.ttt.ng terakhir untuk melakukan represi
(Patten, 1998, h. 150).
Identitas kontribusi Austria menjadi
fokus utama sebagai akibat dari beberapa
kontroversi sengit: kontroversi dengan
aliran. historis Jerman dalam apa yang
dinamakan MeruooeNSTRErr; dengan teo-
retisi AusrRo-MARxtsrr,r; dalam debat de-
ngan pendukung sosialisme pasar tentang
kemungkinan arau kemustahilan kalkulasi
ekonomi yang efisien di dalam sosialisme
(lihat Socrelrsr cALCUI-erroN); dan dengan
pendukung KEyNrslRNrsrtr baru.
Pada akhir 1940-an, naiknya pamor
revolusi Keynesian dalam politik dan in-
telektual telah melemahkan ilmu ekonomi
Austria dalam sejarah ilmu ekonomi. Se-
lain Ludwig von Mises (1581-1973) dan
muridnya, Israel Kirzner (lahir 1930) dan
Murray Rothbard (1926-95) di AS, dan
Ludwig I\4. Lachmann (1.906-90) di Afrika
Selatan, tak ada lagi yang mendr,rkung alir-
an Austria ini selama 1950-an dan 1960-
an-F. A. Hayek telah meninggalkan reori
ekonomi dan beralih ke filsafat hukum dan
sosial. Tetapi situasi ini berubah drastis
dengan datangnya ilmu ekonomi pascaper-
ang pada akhir 1960-an dan 197(l-an,yang
mendorong pencarian kembali ide, ten-
densi dan tradisi yang pernah didiskredit-
kan. Kebangkitan ilmu ekonomi Austria,
yang dipicu oleh penerimaan Nobel untuk
ilmu ekonomi oleh F. A. Hayek pada 1974,
pelan-pelan meniadi genre tersendiri di AS
(dengan Austrian Economics Programrne
di bawah pimpinan Israel Kirzner di New
York University yang memainkan peran
utama); ia ken-rudian menyebar ke Ing-
gris (denga n think-tazAs seperti Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.