walaupun otoritas dapat didefinisikan sebagai hak untuk
meminta dan menerima kepatuhan, yang
sering berdasar kesepakatan bersama, na-
mun acla perselisihan di kalangan teoretisi
sosial tentang hakikat dari otoritas itu' Hal
ini tidak mengejutkan sebab konsep otori-
tas yang berbeda-beda cenderung mereflek-
sikan teori dan pandangan sosial-politik
yang berbeda pula' Akan tetapi, berbagai
konsep otoritas tersebut tampaknya pu-
nya dua komponen yang sama' Yang satu
adalah tidak adanya penilaian pribadi; dan
yang satunya lagi adalah identifikasi otori-
tas yang diakui.
Ini melahirkan perbedaan yang ber-
guna. Jika seseorang patuh pada penilaian
otoritas yang didasarkan pada seper:ang-
kat aturan yang berlaku dalam masyara-
kat, berarti kita berbicara tentang otoritas
de iure. Tetapi jika seseorang patuh pada
penilaian orang lain karena dia menerima
klaim otoritas yang sah' maka ini berarti
otoritas de facto. Orang tua biasanya me-
miliki otoritas de iure dan de facto atas
anak-anaknya. Akan tetapi dimungkinkan
pula mereka punya otoritas de iure tanpa
otorit", de facto, dan sebaliknya' Jika
otoritas diidentifikasi dan diakui berdasar
kepercayaan, maka kita bicara tentang se-
buah otoritas (seperti dokter yang memberi
nasihat kepada pasien). Jika, di lain pihak,
identifikasi dan pengakuan itu berdasar-
kan tindakan, maka seseorang itu berada
di dalam otoritas (seperti polisi mengatur
lalu lintas).
Mungkin cara terbaik untuk mene-
rangkan konsep otoritas adalah dengan
mendeskripsikan solusi yang berbeda un-
tuk tiga problem otoritas.
P ertama, mengapa dibutr"rhkan konsep
otoritas? Hannah Arendt dan Bertrand de
Jouvenel memberi penjelasan yang berbe-
da-beda tentang otoritas' tetapi keduanya
sepaham (dan juga kebanyakan teoretisi
lain) bahwa kohesi dan kontinuitas ke-
hidupan sosial tidak dapat dijelaskan se-
cara memadai hanya dari segi koersi (pak-
saan), Ltnplnsntp' atau diskusi rasional'
Arendt (1960) percaya bahwa otoritas
mengimplikasikan ketaatan di mana orang
mempertahankan kebebasan mereka' Dia
memtedakan dari Powutt, paksaan dan
kekerasan, dan iuga dari persuasi, sebab
dalam persuasi orang berada dalam posisi
setara. Dia percaya bahwa munculnya to-
talitarianisme di abad ke-20 didahului oleh
hilangnya otoritas: kelompok orang yang
kesepian akan mencari kenyamanan dalam
g.rulut massa politik dan merasa perlu
pemimPin.
Menurut Jouvenel (t957), otoritas
adalah kemampuan seseorang untuk men-
dapatkan persetujuan atas proposalnya'
Ini berbeda dari kekuasaan (power) sebab
otoritas hanya dijalankan atas orang yang
mau menerimanYa. Namun, orang Yang
menduduki posisi otoritas, atau penguasa'
mungkin punya otoritas atas sebagian da_
ri bawahannya, tetapi mereka mungkin pu_
nya kekuasaan atas sebagian yang lainnya;
ini akan menjadi kekuasaan atas semua
bawahan dengan menggunakan otoritas
atas sebagian bawah an, atau negara oto_
ritarian. Jouvenel percaya bahwa adalah
keliru untuk mempertentangkan otoritas
dengan kebebasan (tibertyl sebab otoritas
berakhir ketika penerimaan sukarela juga
berakhir: menurutnya, disolusi agregat ma_
nusia adalah induk dari segala kejahatan,
dan kekuasaan polisi akan masuk ketika
prestise keluar.
Kedua, bagaimana cara orang yang me_
miliki otoritas sampai bisa memilikinya?
Max Weber (1921-2) membedakan tipe_
tipe otoritas, atau ..dominasi yang sah.,,
Otoritas legal didasarkan pada keyakinan
pada legaliras aruran yang diberlakukan
dan hak dari orang yang diangkat ke posisi
otoritas berdasar aturan itu untuk menge_
luarkan perintah. petugas polisi dipatuhi
karena mereka diberi otoritas berdasarkan
hukum, dan perintah polisi akan dipatuhi.
Otoritas tradisional didasarkan pada keya-
kinan yang sudah mapan terhadap kesu-
cian tradisi lama dan legitimasi dari mere-
ka yang menjalankan otoritas atas mereka.
Jenis otoritas ini juga didefinisikan dalam
term seperangkat aturan, tetapi aturan itu
kebanyakan diekspresikan dalam tradisi
dan adat istiadat. Terakhir, otoritas karis-
matik didasarkan pada ketaatan kepada
orang suci, pahlawan, atau tokoh panutan,
dan pada pola atau perintah normatif yang
ditetapkan oleh tokoh itu (lihat CHnnrsl,ae).
Contoh terbaik adalah yesus, yang bicara
"dengan otoritas" di Kuil, meski hanya
selama 12 tahun, yang ucapannya adalah
sebentuk otoritas tersendiri, ..Telah ditulis
... tetapi Aku katakan kepada kalian."
Menurut Weber, tiga tipe otoritas ini
adalah "tipe ideal". Ketiganya hampir
selalu eksis dalam bentuk campuran. pe-
ter Winch (1,967) menuniukkan bahwa,
dalam analisis rerakhir, ketiganya di-
dasarkan pada tradisi. Bahkan otoritas
karismatik memiliki dasar tradisi, sebab
pemimpin karismatik selalu memperbarui
tradisi yang sudah ada dan tindakannya ti_
dak bisa dipisahkan dari tradisi: yesus me_
mang mengatakan bahwa dia tidak datang
untuk mencabut hukum, tetapi untuk me_
menuhinya. Perlu juga ditunjukkan bahwa
perbedaan, dalam teori'Weber, antara oto_
ritas hukum (legal) dan tradisional di satu
pihak dengan otoritas karismatik di pihak
lain, adalah sama dengan perbedaan an_
tara pendapat Jouvenel tentang penengah
klaim yang sudah ada dan saling berkon_
flik dengan tujuan, rex, yang pimpinan
atau pencipta kebijakanbaru, dux.
Pertanypan ketiga adalah mengapa
orang mengalah kepada otoritas. pemikir
politik radikal, rerutama dari kubu anarkis
dan Marxis, percaya bahwa orang seha_
rusnya tidak usah mengalah. Marxis ber_
pendapat bahwa ororitas adalah sebentuk
kesenjangan, menutupi sifat kelas negara
kapitalis dan pemaksaan ideologi. Jurgen
Habermas (1973) percaya, misalnya, bah-
wa negara "kapitalisme akhir" menghada_
pi krisis legitimasi. Anarkis modern, seper-
ti Robert Paul'Wolff (1,970),menunjukkan
konflik antara oronomi individual dengan
otoritas. Menurut mereka, otoritas selalu
menyiratkan adanya kepatuhan terhadap
penilaian.
Kubu konservatif dan liberal menja-
wab bahwa perpecahan inrelektual dari
buruh selalu ada di dalarn tatanan ma-
syarakat yang kompleks dewasa ini. Me-
reka j.tga menunjukkan bahwa sejenis
hukum tertentu akan menjamin kebebasan
individual, bukan membatasinya, dan ka-
rena itu ia bertindak sebagai syarat, bukan
pembatas, otonomi.
Kubu liberal modern biasanya mem-
bedakan antara otoritas hukum, yang
mereka anggap sebagai hal yang diperlu-
kan untuk memfasilitasi kerja sama so-
sial, dengan kekuasaan individual, yang
cenderung tidak mereka percayai. Tetapi,
mereka berbeda dalam hal bagaimana
mereka mendapatkan otoritas dari hukum.
Menurut John Rawl (1971,) dan James M.
Buchanan (1975), otoritas berasal dari So-
Orang patuh pada otoritas
karena sesuai dengan kepentingan mereka;
mereka akan memilih (jenis) otoritas jika
diberi informasi yang relevan atau jika
diletakkan dalam tata situasi yang tepat.
Menurut Friedrich A. Hayek (1979), oto-
ritas muncul dari proses panjang adaptasi
mutual dari individu, seperti diekspresikan
dalam perundang-undangan, tradisi, kon-
vensi dan adat istiadat: dia berpendapat,
kecuali unit politik diciptakan dengan
penaklukan, orang akan patuh kepada
otoritas bukan untuk membuat otoritas
itu mampu melakukan apa yang disukai-
tryd, tetapi karena mereka memercayai
seseorang untuk bertindak sesuai dengan
konsepsi keadilan yang mereka sepakati
bersama. Menurut Robert Norzick (1974l1,
otoritas negara didasarkan pada penghar-
gaan pada hak-hak individual.
Di lain pihak, beberapa pemikir mod-
ern, Michael Oakeshott (1.962), Hannah
Arendt, dan yang lainnya, yang dipenga-
ruhi oleh Aristoteles, Rousseau, dan Hegel,
tidak mengacu pada kepentingan atau hak,
tetapi pada identitas sosial. Mereka meng-
ganti teori diri (selues) yang bebas (dan
karenanya lemah) dengan diri yang "di-
tempatkan" (sitwated), sebagian berdasar-
kan peran sosialnya, praktik sosialnya,
juga berdasar tempat dan waktu. Alasan
kita menerima otoritas, menurut teoretisi
ini, adalah karena otoritas mengekspre-
sikan kehendak bersama kita atau mere-
fleksikan identitas bersama kita, nilai dan
keyakinan yang sama-sama kita anut.
Meski beberapa argumen komunitarian
yang menentang liberalisme adalah sama
dengan argumen konservatif (terutama
British Tories) di awal abad ke-19, mereka
biasanya menghasilkan kebijakan yang
lebih egaliter. Tetapi, ketika "diri" (selues)
diletakkan dalam kultur individualis, pan-
dangan komunitarian akan menjadi liber-
tarian, dan contohnya adalah Oakeshott.
Terakhir, kubu "realis" politik percaya
bahwa otoritas tidak muncul berdasarkan
keyakinan bersama atau konvensi, tetapi
berdasarkan penetapan (imposition). Yil-
fredo Pareto mendeskripsikan politik seb-
agai persaingan di antara elite untuk menge-
jar tujuan mereka dengan memanfaatkan
dukungan massa: "Semua pemerintahan
menggunakan kekuatan dan semuanya
menegaskan bahwa mereka didirikan ber-
dasarkan suatu alasan (reason)" (Pareto,
L9L6-19, sect. 2183). Menurut Gaerano
Mosca (1896), kelas penguasa mendo-
minasi mayoritas yang tidak terorganisir,
melegitimasi kekuasaannya berdasarkan
suatu "formula politik." Marxis dan anar-
kis sampai tingkat tertentu sepakat dengan
realis pglitik tentang sifat dari otoritas, wa-
laupun dua kubu ini tidak sepaham dengan
realis dalam hal bahwa otoritas tidak bisa
mereka terima dan ingin menggantikannya
dengan sesuatu yang, bagaimanapun juga,
hakikatnya tidak mereka sepakati pula.
Tetapi kebanyakan filsuf politik dan sosi-
olog politik percaya bahwa otoritas adalah
tak terhindarkan dan tidak bisa dihapus-
kan dalam kehidupan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.