Dari kata Latin exilium, tempat pembuangan, atau pengembaraan, berarti
pengasingan (umumnya ke luar tempat tinggal atau ke luar negeri), yang dapat
bersifat suka rela dapat pula bersifat paksaan. Dalam kehidupan politik,
tindakan pengasingan itu umumnya dilakukan karena yang bersangkutan melakukan
tindakan kejahatan, terutama pembunuhan atau tindak kekerasan lain.
Dalam
sejarahnya, pada jaman Yunani Kuno, hukuman pembuangan atau pengasingan
dikenakan sebagai bentuk pengganti hukuman mati atau hukuman bagi kejahatan
yang berdampak luas di masyarakat, misalnya kejahatan politik. Dengan demikian,
hukuman pembuangan dapat dikatakan salah satu alternatif dari hukuman
mati. Tidak jarang hukuman seperti ini disertai pula dengan penyitaan atas
hak milik. Pada jaman Kekaisaran Romawi, hukuman pembuangan dikenal sebagai deportatio atau relegatio. Deportatio
lebih sering digunakan untuk para penjahat politik, sedangkan relegatio untuk
jenis kejahatan lain. Deportatio ialah hukuman pembuangan ke suatu pulau yang
disertai penyitaan atau pelepasan hak sebagai warga negara, dan biasanya juga
penyitaan atas hak milik (harta benda). Relegatio ialah hukuman pembuangan
yang lebih ringan, karena umumnyatidak disertai
pencabutan hak sebagai warga negara atau hak harta milik. Ada
pula orang yang secara suka rela mengasingkan dirinya karena politik. Sebagai
orang asing di dalam suatu negara, hak-hak orang seperti ini ditentukan dalam
perjanjian antara negara tersebut dan orang itu. Pada umumnya, bagi orang asing
seperti itu tidak diberlakukan ekstradisi, tetapi mereka tetap dikenai
undang-undang yang berlaku di negeri itu. Sekarang
ada kecenderungan untuk menghapus jenis hukuman itu. Di Inggris, misalnya,
jenis hukuman ini ditiadakan sejak tahun 1857, sedangkan di Peran- cis tahun 1938. Di Italia, jenis
hukuman tersebut diberlakukan pada jaman pemerintahan fasis, namun setelah itu
dihapus. Di Rusia, praktik hukuman pengasingan tampaknya masih diberlakukan
berupa pembuangan ke Siberia. Di
samping adanya hukuman pembuangan atau pengasingan, dikenal pula pemerintahan
pengasingan, yaitu pemerintahan yang berada di luar wilayah kedaulatan
negerinya, yang berkehendak mengambil alih pemerintahan di dalam negerinya
apabila keadaan politik mengizinkan. Yang tergolong pemerintahan pengasingan,
misalnya, pemerintahan Pangeran Sihanouk dari Kambodia
(1979-), pemerintahan Palestina Merdeka di bawah Yasser Arafat (1989-).
Dalam sejarah Indonesia, hukuman pembuangan atau
pengasingan juga diberlakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Banyak tokoh
pergerakan ber- kebangsaan Indonesia yang dinilai akan membahayakan kedudukan
pemerintah penjajah dikenai hukuman pengasingan ini. Misalnya, Pangeran
Diponegoro yang mengobarkan peperangan melawan Belanda di Jawa (1825—1830),
yang akhirnya dikhianati pada saat
perundingan di Magelang. Pahlawan nasional ini ditangkap lalu diasingkan ke
Manado dan kemudian dipindahkan ke Makasar (Ujungpandang sekarang) sampai
wafatnya. Demikian pula pada saat rakyat Minangkabau bangkit melawan Belanda
dalam Perang Padri (1833-1837) yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ketika benteng
kaum Padri jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1837,
Imam Bonjol ditangkap
lalu diasingkan ke daerah Minahasa di Sulawesi Utara, sampai ia akhirnya
meninggal dunia pada tahun 1864
di dalam pengasingan. Presiden pertama Republik Indonesia, proklamator kemerdekaan RI, tidak
luput dari hukuman tersebut. Bersama-sama dengan tokoh lain,
Sukarno pernah dibuang ke Bengkulu,
Pulau Bangka, Ende, dan Prapat, Sumatra Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.