Konsep tentang asosiasi gagasan-gagasan sudah sama tuanya dengan Aristoteles, namun pemakaiannya sebagai kerangka dasar untuk memperhitungkan secara menyeluruh kehidupan mental pada hakekatnya adalah pemikiran khas Inggris, dimulai dari Jhon Locke dan diakhiri oleh Alexander Bain. Ada pula beberapa asosiasionis kontinental mutakhir dan beberapa filsuf Skotland yang menyumbangkan gagasan subsider terhadap konsep ini. Namun mereka tidak seserius kelompok yang dikenal dengan Empirisis Inggris. Locke, Berkeley dan Hume menggunakan asosiasionisme untuk mendukung epistemologi empiris yang mereka kembangkan sebagai lawan dari pandangan rasionalis Descrates. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan dan keyakinan diturunkan, dan hanya bisa diberi pembenaran oleh acuan pada pengalaman sensorik, yang berbeda dengan sifat gagasan dan syarat kebenaran yang dipegang oleh Descrates. Mereka juga berpendapat bahwa pengalaman yang didasari rasa itu bisa dibagi menjadi unit-unit dasar seperti sensasi (pengalaman yang timbul akibat pengaruh obyek-obyek eksternal terhadap indra), citra (sensasi-sensasi yang dibangkitkan atau yang diingat), dan perasaan (nilai-nilai afektif yang menyertai sensasi dan citra). Pemilihan pada unsur-unsur atomis ini barangkali dilakukan karena keyakinan bahwa pengalaman-pengalaman demikian tidak dapat diperbaiki dan juga tidak bisa diperdebatkan; apa yang saya alami pada suatu peristiwa tidak bisa dibenarkan oleh apa yang saya alami dengan peristiwa lain yang sama, kendati bisa saja disusun menjadi jaringan pengalaman. Jaringan atau rangkaian pengetahuan terpola ini dibangun ketika gagasan-gagasan saling terpisah menjadi tergabung atau terjalin berdasarkan kesamaan atau urutan waktunya. Asosiasionisme Inggris mencapai puncaknya sebagai sistem psikologis manakala sederetan pemikir, David Hartley, James Mill, John Stuart Mill dan Bain berkonsentrasi membangun teori kehidupan mental yang mandiri, bukan sekedar sebuah landasan psikologis bagi sebuah epistemologi. Penting dicatat adanya gejala peningkatan positivis-sensasionis pada tiga filsuf terdahulu. Locke berasumsi bahwa pikiran atau diri merupakan tempat masuknya pengaruh obyek-obyek eksternal terhadap panca indra; Berkeley dapat menerima gagasan tentang pikiran atau diri, namun ia menolak bahwa kita bisa memiliki pengetahuan langsung tetang obyek eksternal (yang bisa kita ketahui hanyalah gagasan-gagasan kita): Hume bergerak lebih jauh dan berpendapat bahwa apa yang disebut pikiran atau diri tidak lebih dari jalan bagi gagasan-gagasan' kita. Hartley, yang lebih merupakan seorang ahli fisika ketimbang filsuf, mencoba memberi dasar neuro-psikologis bagi sensasi, citra, perasaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Ia menduga bahwa pengaruh obyek-obyek eksternal terhadap panca indra menimbulkan getaran pada ujung-ujung syaraf perasa dan dengan demikian terjadilah sensasi. Citra muncul dari getaran-getaran kecil yang tersisa, yang disebutnya ivibratiuncles', yang dibangkitkan oleh sensasi-sensasi atau citra yang berhubungan dengannya. James Mill, seorang teoritisi sejarah dan politik, menolak gagasan neuro-psikologi Hartley yang prematur namun cukup fantastis itu, dan ia mengembangkan pemikiran psikologikal lewat jalur yang lebih sistematis dan positivis.
Pemikirannya amat atornistik dan mekanis. Jhon Stuart Mill dan Alexander Bain memperlunak tendesi tersebut, dan mereka berpendapat bahwa komposisi mental' dalam rasa kimiawi sebagaimana campuran secara keseluruhan tak lain adalah penjumlahan dari unsur-unsur yang berpadu itu. Prospek pendekatan 'hukum-hukum' atau kondisi-kondisi untuk berpadunya gagasan' belum disepakati. Secara universal telah disepakati bahwa frekuensi dan kesinambungan (dua atau lebih gagasan' acapkali terjadi bersamaan atau berdekatan) menentukan suatu kondisi dasar, misalnya, meja' dan kursi' dikatakan berasosiasi karena kedua gagasan' ini acapkali datang berkonjungsi. (Beberapa teori proses belajar modern mempertanyakan asumsi ini). Selain hukum dasar ini, beberapa asosiasionis menambahkan satu atau lebih hukum kuantitatif, seperti 'hukum kesamaan' yang menghasilkan asosiasi antara gelap' dan thitam', hukum kekontrasan' antara gelap' dan iterang' serta 'hukum sebab dan akibat' yang mengatakan bahwa pengalaman yang diikuti oleh pengalaman lain akan berasosiasi jika yang kedua memuaskan apa yang diperlukan yang pertama; ini mendapat tempat khusus dalam teori belajar S-R. Kendati mengklaim bahwa mereka mendasarkan diri pada observasi atau pengalaman senso-rik, para asosiasionis Inggris lebih mendasarkan pada akal sehat dan pembuktian anekdotal. Belakangan, von Helmhozt, Wundt, Ebbinghaus, Kulpe, G.E. Muller dan lain-lain mengembangkan metode eksperimental untuk memperkuat basis empiris dari teori asosiasionis yang telah direvisi.
pemikiran tentang asosiasionIsme (associationism)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.