definisi evolusi kapitalisme dalam sejarah marxism (capitalism )
Istilah kapitalisme merujuk pada suatu sistem organisasi sosio-ekonomi tertentu (biasanya dikontraskan dengan feodalisme dan sosialisme), yang pada hakikatnya lebih tepat didefinisikan secara implisit ketimbang eksplisit. Sama halnya dengan konsep-konsep politik yang sarat nilai lainnya, definisi kapitalisme lainnya baik itu secara implisit atau pun eksplisit cenderung berubah-ubah dan selalu diwarnai oleh bias ideologi pemakainya. Bahkan ketika dijadikan kategori historis atau ketika dibakukan untuk keperluan analisis objektif, definisi kapitalisme yang digunakan juga cenderung berubah-ubah sesuai dengan sekuen temporal dan karakter perkembangan historis yang tengah dibahas.
Karena itu para ahli sejarah seperti Sombart (1915), Weber (1930 [19221) dan Tawney (1926), berusaha mengaitkan perubahan-perubahan organisasi ekonomi dengan berbagai pergeseran sikap keagamaan dan etis mendapati esensi kapitalisme pada semangat pencarian keuntungan, yang khususnya berlaku pada abad 16, 17 dan awal abad 18. Agaknya sebagian besar sejarawan menganggap kapitalisme telah mencapai perkembangan puncaknya di zaman revolusi industri, sehingga mereka memperlakukan periode sebelumnya sebagai bagian dari transisi panjang antara feodalisme dan kapitalisme. Sementara itu para ahli sejarah Marxis mengidentifikasikan serangkaian tahapan evolusi kapitalisme. Ada pun tahapan-tahapan yang sering digunakan adalah kapitalisme dagang (merchant capitalism), kapitalisme agraria (agrarian capitalism), kapitalisme industri (industrial capitalism), dan ka-pitalisme negara (state capitalism). Sebagian besar perdebatan mengenai asal mula dan perkembangan kapitalisme bertumpu pada keragaman pandangan mengenai arti penting, periodisasi dan karakteristik-karakteristik dari setiap tahapan tersebut. Karena itu Wallerstein (1979) yang menerapkan perspektif ekonomi-dunia menetapkan kapitalisme agraria yang mewarnai Eropa diabad 16, 17 dan awal abad 18 sebagai pijakan penting berkembangnya kapitalisme. Sementara itu Tribe (1981) yang juga menetapkan kapitalisme agraria sebagai mode produksi kapitalis awal melihat esensi kapitalisme dalam suatu perekonomian nasional di mana produksi dipisahkan dari konsumsi dan dikoordinasikan atau dialokasikan di kalangan unti-unit usaha yang harus bersaing guna mendapatkan hak berproduksi. Apa pun tujuan historis yang hendak dicapai oleh para penulis itu nampaknya definisi mereka sama-sama dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx (1867-94) yang merupaKan tokoh pertama yang mencoba mengadakan analisis sistematik mengenai "hukum pergerakan ekonomi" masyarakat kapitalis yang merupakan pangkal tolak berlangsungnya perdebatan panjang mengenai hakikat dan peranan kapitalisme.
Bagi Marx kapitalisme adalah suatu "mode produksi" yang melibatkan dua kelas produsen, yakni kaum kapitalis yang memiliki alat-alat produksi (modal atau tanah) dan punya kekuasaan untuk membuat keputusan ekonomi strategis berkenaan dengan pemakaian teknologi, penentuan tingkat output, dan pemasaran serta laba yang harus diraih dari setiap kegiatan produksi dan distribusi; serta kaum buruh yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaganya yang senantiasa tergantung pada kebutuhan pihak kapitalis. Definisi ini digunakan secara luas baik oleh para ahli sejarah ekonomi non-Marxis seperti Lipson dan Cunningham, dan tentu saja oleh para sejarawan Marxis seperti Dobb (1946). Bertolak dari perspektif itu, maka aspek yang paling penting adalah munculnya suatu kelas pengusaha dominan yang mampu memasok modal untuk mengaktifkan para pekerja yang dalam waktu bersamaan melahirkan kapitalisme. Di Inggris dan juga di Belanda, awal kelahiran kapitalisme berkisar antara akhir abad 16 dan awal abad 17. Supremasi Belanda dalam perdagangan intemasional di masa itu, dan besamya kebutuhan untuk mengimpor biji-bijian dan kayu (serta mengekspor produk manufaktumya) menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan di kawasan Baltik dan menggusur Venesia sebagai pusat komersial dan finansial Eropa. Modal pun mulai menumpuk di sana, dibawa oleh maskapai-maskapai dagang seberang lautannya (Dutch East India Company 1602; West india Company, 1621) serta perusahaan-perusahaan besar lainnya yang diberi hak untuk menjajah wilayah di seberang lautan dan mengeksploitasi segenap sumber dayanya.
Mekanisme sirkulasi modal segera terbentuk di sana, ditunjang oleh melimpahnya bahan-bahan mentah dan tersedianya pasar yang sangat besar untuk menyerap produk-produk tersebut. Spesialisasi dalam sektor pertanian mulai berkembang seiring dengan meningkatnya monetisasi (penggunaan uang), dan kawasan perkotaan menawarkan produk-produk industri sebagai imbalan bagi impor bahan mentah. Kaum kapitalis Belanda berkembang lebih pesat pada masa itu, karena mereka di bawah administrasi republik yang mendukung pasar bebas, nilai-nilai individual, dan melegitimasi motif penumpukan keuntungan. Di Inggris, situasi ekonomi serupa mulai berkembang pada abad 16 dan awal abad 17. Namun bangkitnya kelas kapitalis di Inggris dihambat oleh pemerintahan monarki paternalistik yang berusaha mengadakan berbagai regulasi untuk kepentingan fiskal mereka sendiri dan juga untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Nilai-nilai sosial yang dianut oleh pemerintah dan pengusaha Inggris berbeda satu sama lain. Sistem kenegaraan Tudor mengontrol berbagai segi kehidupan ekonomi mulai dari pengaturan suplai bahan makanan, pencetakan uang, sampai pada penetapan upah. Raja-raja Stuart yang pertama beranjak lebih jauh dengan menjual hak monopoli industri dan konsesi-konsesi ekonomi bernilai besar ke segelintir pengusaha yang mereka sukai sehingga merugikan kepentingan industri secara keseluruhan. Namun para pengusaha kapitalis itu menemukan kesempatan untuk menghilangkan berbagai hambatan itu dalam revolusi Cromwell. Ketika kekuasaan monarki kembali di Inggris pada tahun 1660-an, situasi sudah berubah. Pendapat umum menghendaki dikembangkannya kapitalisme, dan hal itulah yang menjadi pijakan bagi tahap berikutnya, yakni Revolusi Industri. Para teorisi ekonomi ortodoks mengalami kesulitan dalam menyusun konsep kapitalisme karena pengertiannya begitu luas dan menyangkut pula hubungan sosial dalam produksi.
Para ahli sejarawan modern masih menggunakan kerangka kerja kaum ortodoks itu dalam menyusun teori ekonomi, namun mereka berusaha menghindari kesulitan dari pemakaian istilah kapitalisme yang memang kabur itu. Mereka berhasil melihat salah satu aspek terpenting kapitalisme itu yakni adanya motif maksimalisasi keuntungan yang kemudian mereka sisipkan dalam penyusunan prosedur pembukuan ganda (akuntansi) yang lazim digunakan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis hingga saat ini. Pada periode pasca Perang Dunia Kedua, perdebatan mengenai pembangunan ekonomi untuk kawasan-kawasan terbelakang mulai marak. Sejumlah pengamat berpendapat bahwa bangkitnya "semangat kapitalis" merupakan syarat penting yang harus dipenuhi untuk mengawali proses pembangunan ekonomi secara berkelanjutan di negara-negara non sosialis (lihat misalnya Lander, 1969; Morishima, 1982; North dan Thomas, 1973). Perdebatan di era modern mengenai kapitalisme terfokus pada kedudukannya sebagai saingan sosialisme. Para ekonom Marx tetap melihat kapitalisme sebagai suatu mode produksi yang mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang selanjutnya akan menentukan kehancurannya dan digantikan oleh sosialisme. Seusai Perang Dunia Kedua, pemerintah di berbagai negara maju menetapkan kondisi full employment dan pertumbuhan ekonomi secara cepat sebagai tujuan eksplisit dari kebijakan ekonorni nasional masing-masing, dan pada saat itu terdapat kecenderungan yang sangat kuat bagi pemerintah-pemerintah tersebut untuk mengadakan intervensi langsung dalam mekanisme pasar. Pada saat itulah mulai terjadi pergeseran makna kapitalisme, karena pemerintah mulai mendapatkan peran vang aktif dan sah dalarn perekonomian pasar kapitalis (lihat misalnya, Shonfield, 1965) dan sampai batas tertentu mereka bisa menampilkan pola ekonomi campuran seperti yang didambakan oleh sosialisme. Pada akhir 1960-an dan 1970- an, ketika kegiatan perekonomian dunia mencapai puncaknya, para ekonom marxis tetap berkeyakinan bahwa "krisis kapitalisme" akan segera datang, ditandai oleh lonjakan pengangguran dan inflasi di negara-negara kapitalis.
Di lain pihak para ekonom non-Marxis kehilangan konsensus mereka. Mereka kemudian terlibat dalam perdebatan di antara sesamanya mengenai sejauh mana pemerintah bisa dibenarkan melakukan campur-tangan. Para ekonom yang meyakini "semangat kapitalisme" menolak campur-tangan pemerintah mulai kehilangan pengaruh ketika kebijakan-kebijakan sosialis yang diterapkan oleh negara-negara industri maju pada 1950-an dan 1960-an membuahkan hasil yang memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.