pengantar tentang definisi teori modal atau capital theory
Pentingnya peranan modal dalam spesifikasi teknologi produksi dan sebagai sumber pendapatan yang membuahkan bunga atau keuntungan, telah memunculkan teori-teori produksi dan akumulasi serta teori-teori nilai dan distribusi. Subjek tersebut menarik minat para ekonom karena modal menghasilkan suatu hasil tanpa modal itu sendiri berkurang sehingga sifatnya permanen, sedangkan konsumsi memang juga menghasilkan hasil berupa utilitas atau kepuasan yang sama besarnya dengan biaya, namun hanya terjadi sekali saja. Para ekonom klasik pra-industri menganggap modal setara dengan simpanan bahan pangan atau pekerjaan yang membuahkan upah. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa akumulasi cadangan barang modal memungkinkan dilakukannya pembagian kerja secara efisien.
Pendapat ini tercermin dalam pernyataan J. S. Mill (1886 [1848]): "berbicara tetang kekuatan produktif modal, kita bisa terjebak dalam kekeliruan secara harfiah. Sesungguhnya yang memiliki kekuatan produktif adalah tenaga kerja dan sumber daya alam. Nampaknya akan lebih tepat jika modal dipandang sebagai barang perantara yang kualitasnya ditentukan oleh teknologi, sehingga selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen atau hukum "alamiah" ketimbang "hukum" manusia atau ekonomis". Di masa Marx lapangan kerja bagi manusia untuk menyertai mesin di pabrik-pabrik berkembang pesat dan Marx sendiri sangat terkesan dengan peningkatan rasio pernakaian tenaga kerja meskipun mesin terus bertambah. Marx mengangankan adanya suatu "mode produksi" yang menjadikan kapital atau modal bersifat sosial ketimbang semata-mata bersifat teknologis, karena modal bukan sekedar mesin namun juga suatu instrumen perwujudan beroperasinya hukum nilai dan distribusi kapitalisme yang nantinya akan menghasilkan implikasi-implikasi revolusioner. Pengintegrasian fungsi produksi dan distribusi tersebut ditentang oleh Mills yang jelas-jelas mempertanyakan justifikasi pencarian laba atau bunga sebagai hasil permanen dari modal. Jevons adalah tokoh pertama yang mengemukakan pentingnya faktor waktu — tenaga kerja yang terakomodasi dalam stok barang.
Teori aliran Austria Bohm-Bawerk mengenai modal yang terkandung dalam waktu merupakan justifikasi pencarian bunga modal sekaligus untuk menjawab kecaman Marx. Para ekonom aliran Austria menganggap sumber daya manusia dan alam sebagai faktor-faktor produksi asli, namun "waktu'' yang memungkinkan proses produksi yang berulang-ulang sesungguhnya juga merupakan faktor produksi tersendiri. Periode produksi yang lebih lama akan menghasilkan output yang lebih banyak sekalipun dalam proporsi yang lebih kecil. Kesediaan para kapitalis untuk menunggu adanya produk yang lebih banyak melalui proses produksi yang lebih lama, yang dibarengi oleh konsumsi para pekerja, merupakan alasan yang sah bagi para pemilik modal untuk mencari laba dari modal yang dimilikinya itu. Clark mengembangkan teori klasik Ricardo mengenai variasi sewa tanah dan kaitannya dengan barang modal fisik dengan menonjolkan aspek pengikisan keuntungan sebagai salah satu "hukum alamiah" dalam kegiatan produksi. Menurut Clark modal itu sendiri adalah faktor produksi karena hasil yang dibuahkannya sama dengan produk marginalnya. Penetapan kontribusi "marginal" modal mengharuskan pembakuan modal yang digunakan, sementara jumlah tenaga kerja yang digunakan boleh saja berubah-ubah sesuai dengan tuntutan teknologi produksi yang digunakan. L. Walras menggeser penekanan pembahasan dari barang modal fisik ke aspek jasa dan hasil yang dibuahkannya. Menurutnya aspek jasa itulah yang sesungguhnya produktif dan harus dianalisis secara cermat. Aspek jasa itu pula yang dipertukarkan dan dinilai atas dasar netto permanen yang dibuahkannya. Wicksell (1934) mengkritik Walras dan menolak pemyataannya bahwa "waktu" merupakan faktor produksi tersendiri.
Wicksell merasa skeptis dengan diaplikasikannya teori marginal model agregat karena ia berpendapat "margin"stok modal tidak bisa didefinisikan secara tepat dan pasti. Masalahnya, "tanah dan tenaga kerja selalu diukur berdasarkan unit teknisnya, sedangkan modal sesungguhnya merupakan suatu penjumlahan nilai pertukaran sehingga setiap barang modal diukur dengan suatu unit di luar dirinya sendiri", dan itu berarti nilai modal, yang dalam kondisi ekuilibrium akan sama besarnya dengan biaya produksi, tidak bisa digunakan untuk mendefenisikan kuantitas yang merupakan pijakan untuk mengadakan kalkulasi hasil marginal karena "biaya-biaya produksi tersebut mencakup modal dan bunga sehingga kedua hal ilu sesungguhnya merupakan siklus yang tidak terpisahkan" (Wicksell, 1934). Argumen Wicksell ini mengingatkan kita Pada pandangan klasik atas modal sebagai sesuatu yang tidak lebih dari barang perantara, dan bukan sebagai faktor produksi tersendiri. Fisher membuat perbedaan tajam antara arus pendapatan dengan stok modal yang menghasilkannya. Karena penghitungan diskonto pendapatan di masa mendatang akan mengkonversikan arus pendapatan menjadi stok modal, maka masalah kunci yang harus dijawab adalah peran preferensi individu antara konsumsi sekarang dengan konsumsi di masa mendatang atau (tingkat preferensi waktu) yang menentukan besar kecilnya suku bunga. Semakin besar preferensi untuk konsumsi sekarang maka akan semakin tinggi tingkat diskonto dan semakin rendah nilai sekarang barang-barang yang akan tercipta di masa mendatang (stok modal tadi). Dalam General Theory, Keynes menyatakan bahwa stok modal tetap dapat dianalisis sebagai bagian dari proses pembentukan suku bunga atau tingkat keuntungan yang selanjutnya bisa diharapkan sebagai landasan pengembangan teori distribusi.
Para teorisi neoklasik (kebanyakan berasal dari Universitas Cambridge di Amerika) mengembangkan versi-versi sederhana teori Clark melalui suatu teori fungsi produksi agregat yang menghubungkan output homogen dengan berbagai faktor produktif yakni tenaga kerja dan modal agregat di mana "kuantitas" modal berasosiasi secara negatif dengan harganya (suku bunga) pendapat ini mempertahankan hubungan negatif antara harga dan kuantitas yang dikemukakan oleh teori permintaan tradisional. Para ekonom Cambridge tersebut menolak modal sebagai faktor produksi tersendiri dengan alasan nilai heterogenitas sarana produksi yang mencakup "modal agregat" tidak bisa diukur secara independen dari harganya yang merupakan determinan nilai untuk menghitung kuantitasnya. Pertentangan teoretis inilah yang kemudian dikenal sebagai "kontroversi Cambridge" dalam teori modal. Salah satu elemen penting dalam perdebatan itu adalah teori harga yang dirumuskan oleh Sraffa (1960). Teori tersebut mencoba menyajikan bukti formal bagi kritik Wicksell dengan menunjukkan bahwa perubahan-perubahan suku bunga atau "tingkat keuntungan" dalam suatu sistem yang saling terkait dapat mempengaruhi harga berbagai barang sehingga menjadi sarana-sarana produksi sedemikian rupa sehingga perubahan suku bunga tidak selalu mempengaruhi kuantitas agregat modal yang digunakan. Konsepsi itulah yang kemudian dikenal sebagai "pembalikan modal" dan "pemakaian ulang modal" yanq secara jelas menunjukkan bahwa hubungan negatif antara kuantitas modal agregat dengan suku bunga tidak selamanya terjadi. Kritik itu tidak berlaku dalam analisis barang modal secara individual.
Ekuilibrium umum, di mana suku bunga untuk semua jenis barang modal sama besarnya, memerlukan adanya data komparasi suku bunga yang saling bersaing dan rasio keuntungan sebagai pijakan untuk menqhitung nilai barang modal yang akan menghasilkan suku bunga atau keuntungan tersebut. Sampai sejauh ini para teorisi moderen baru menyepakati keterbatasan konsep modal agregat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.