Mengintip definisi cargo cults
Cargo cults adalah istilah untuk suatu pergerakan tertentu di Melanesia yang menjadi inti kepercayaan penduduk di sana bahwa ketaatan pada manipulasi dan observasi ritual akan membuahkan kemakmuran bagi pelakunya. Istilah ini berasal dari Bahasa Pidgin, kago (dari kata cargo dalam Bahasa Inggris) yang merujuk pada imbalan yang ingin diperoleh dari dilakukannya suatu tindakan, sedangkan cult adalah kata khas bermakna persembahan bagi bangsa-bangsa Melanesia. Kegiatan ritual ini dipimpin oleh tokoh adat yang juga berfungsi memelihara kepercayaan tradisional, menafsirkan mitos-mitos, dan mema-nipulasi simbol-simbol menjadi pesan-pesan tertentu. Setiap kegiatan bersama akan lebih efektif dengan adanya keikutsertaan mereka, karena mereka berpengaruh menggerakkan masa (pengaruh mereka itu sendiri dianggap sebagai suatu warisan leluhur yang harus dijunjung tinggi). Kegiatan ritual besar-besaran tercatat terjadi di tahun 1970-an di Kepulauan Tanna, Vanuatu, yang juga dihadiri Duke of Edinburgh, suami Ratu Inggris Elizabeth II. Kehadiran Duke sangat dihargai karena ia dianggap punya kedudukan spiritual di antara mereka.
Dahulu, kegiatan itu dianggap sebagai praktek kuno irrasional yang hanya dimaksudkan untuk menyalurkan rasa frustasi dan kegilaan penduduk. Namun serangkaian riset serius seusai Perang Dunia Kedua mengungkapkan bahwa kegiatan-kegiatan pemujaan itu punya makna rasional yang jauh lebih luas dan penting, yakni untuk mengobati trauma yang diakibatkan oleh kontak mereka dengan para pendatang dari Barat. Mereka berusaha melindungi diri dari sergahan peradaban "modern" di balik keyakinan dan nilai-nilai tradisional yang menentramkan hati. Prak-tek serupa sesungguhnya juga ada di Barat, misalnya pengagungan Keluarga Kerajaan sebagai simbol kesatuan bangsa, sehingga praktek itu tidak bisa dikatakan konyol atau tak berguna. Kehadiran para pendatang dari Eropa yang lebih makmur dan berbekal teknologi tinggi tidak bisa dibendung, demikian pula pengaruh politik mereka. Kemai ii lan mereka mencetak kekayaan secara licik tanpa kerja keras fisik tidak sesuai dengan nilai-nilai penduduk setempat dan mengagetkan sehingga mereka sulit mengintegrasikannya ke dalam kehidupan sosial mereka. Jelas bangsa-bangsa Eropa memiliki pengetahuan lebih banyak, dan penduduk Melanesia sangat sulit memperoleh aksesnya. Karena mereka tak kunjung berhasil memahaminya, maka penduduk pun berpaling ke tradisi aslinya sendiri. Mereka berharap menemukan suatu rumusan yang dapat membuat mereka punya idenditas dan alasan untuk mengobati rasa tertekan dan rendah diri. Mereka pun sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang kulit putih itu unggul karena curang, dan mereka terpaksa mengalah karena tidak mau berbuat serupa.
Tujuan berikutnya adalah memelihara hu-bungan dengan roh nenek moyang yang diharapkan dapat mempertahankan identitas mereka sebagai bangsa terhormat. Dalam bentuknya yang ekstrim, cargo cults bisa mengarah ke rasisme, namun itu pun sekedar respon terhadap dominasi kaum kulit putih pendatang yanq memandang rendah mereka. Mereka bahkan berangan-angan sekian ribu tahun lagi warna kulit mereka akan sama, sehingga dominasi dan penindasan akan terhapuskan. Sering dilakukannya tradisi pemujaan ini mencerminkan kuatnya rasa khawatir penduduk terhadap para pendatang. Pengamatan para ilmuwan Barat bahwa tradisi itu merupakan penyaluran rasa frustasi sedikit banyak ada benamya, karena melalui tradisi itu penduduk setempat berusaha melepas beban akibat pe-nindasan pihak luar, dan membuat mereka bisa melupakan inferioritasnya.
Pelaksaaan tradisi ini ternyata juga membuahkan hasil materi, karena pemerintah kolonial menganggapnya penting (mungkin juga agar mereka tidak berontak) sehingga bersedia memasok bahan pangan dan aneka barang keperluan penduduk, khususnya di masa paceklik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.