Umumnya didefinisikan sebagai studi manusia secara ilmiah. Tetapi definisi lama ini mengandung sejumlah problem, yang mengilustrasikan diversitas antropologi sekaligus ciri-ciri yang menyatukan. Yang pertama adalah walau asal usul antropologi sebagai disiplin yang koheren berakar dalam revolusi Darwinian pada pertengahan abad ke-19, dan karenanya menjadi bagian dari kajian terhadap Evolusr, namun perkembangan berikutnya adalah lebih merupakan reaksi terhadap gagasan evolusioner dan progresionis tentang perilaku dan masyarakat manusia. Perpecahan antropologi menladi cabang sosial dan biologis yang berbeda bukan hanya mencerminkan respons yang berbeda terhadap perkembangan ide-ide evolusi, tetapi juga merupakan penolakan antropologi sosial terutama terhadap pendekatan murni ilmiah untuk mengkaji manusia. Kedua, munculnya kritikk feminis menyebabkan adanya kehati-hatian, atau bahkan penolakan, terhadap penggunaan istilah "man" untuk menyebut spesies manusia secara keseluruhan.'Walaupun adalah mungkin untuk menganggap istilah "man" sebagai istilah yang mencakup spesies secara keseluruhan, namun kritik feminis itu setidaknya mengingarkan bahwa sebagian besar pandangan evolusi dan diversitas manusia dilihat dari perspektif lelaki. Karena adanya fragmentasi ke cabang sosial dan biologi ini, belum lagi perpecahan di subcabangnya, maka dapat dipertanj'akan apakah masih ada koherensi untuk istilah antropologi ini, dan lebih jauh, apakah perkembangan seluruh ilmu sosial, manusia dan kehidupan, belum,lagi pendekatan yang lebih humanistik, telah menimbulkan redudansi yang menyebabkan tidak ada rempat yang jelas bagi antropologi atau karakter yang khas dalam pendekatan antropologi. Jawaban yang positif dapat diberikan dengan menyuguhkan apa-apa yang unik atau mendominasi dalam penelitian antropologi. Dibandingkan cabang ilmu sosial lainnya, antropologi dicirikan oleh penekanannya pada pendekatan komparatif, pada variasi perilaku dan masyarakat, bukan pada norma-norma dalam perilaku dan masyarakat. Antropologi juga terkenal karena menolak menjadikan masyarakat atau populasi Barat sebagai model kemanusiaan. Kerangka komparatif ini amat penting. Antropologi sosial sejak lama telah fokus pada masyarakat non-Barat, dan kendati makin banyak minat untuk mengaplikasikan metode dan konsep yang sama ke masyarakat yang ada di wilayah Eropa, namun yang selalu menjadi prinsip adalah pengalaman sosial manusia akan jauh lebih baik jika dilihat sebagai pengalaman yang bervariasi, masing-masing punya logika kebudayaan sendiri-sendiri. Jadi, masyarakat Barat tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai kultur lain. Bentangan variasi kultural ini menjadi basis bagi kerangka komparatif dalam studi antropologi sosial. Demikian pula, ahli antropologi biologis, atau antropologi fisik, menggunakan prinsip dan metode biologi untuk memberikan kerangka komparatif jenis lain. Kerangka itu bisa berupa kerangka evolusioner yang eksplisit, yakni membandingkan manusia dan primata lainnya, atau kerangka yang mengkaii tingkat dan sifat variasi biologis manusia dewasa ini. Jika arkeologi ikut dimasukkan, maka kerangka komparatif itu akan didasarkan pada waktu-yakni bagaimana masyarakat manusia bisa bervariasi seiring dengan perjalanan waktu pra-historis dan historis. Dasar dari semua cabang antropologi adalah kajian atas pemetaan variasi manusia-biologis, kultural, dan behavioural-dan usaha untuk menjelaskan, menafsirkan, dan memahami pola-pola arah perkembangan manusia dan keunikan-keunikannya. Penelitian antropologis padar dasarnya dicirikan oleh perspektif global ini. Kerangka komparatif ini menjadi membuat antropologi mampu memengaruhi pemikiran abad ke-20.
Masyarakat primitif
Penemuan berbagai macam masyarakat manusia oleh orang-orang Eropa terutama terjadi pada periode tahun 1500 sampai 1900. Bersamaan dengan penemuan ini muncul kebutuhan untuk memahami mengapa dan bagaimana keragaman ini bisa terjadi. Perspektif evolusi (meski tak selalu perspektif Darwinian) yang dipakai selama akhir abad ke-19 telah menjadi basis pertama bagi kajian ini. Oleh banyak pemikir yang dipengaruhi Darwin, seperti Herbert Spencer, evolusi dianggap sebagai tangga perubahan progresif, dari organisme primitif menjadi manusia (lihat Soctal DAt{wlNISM). Spesies lain dianggap mengalami hambatan perkembangan dalam scala naturae. Berdasar pandangan ini, masyarakat manusia dapat ditempatkan pada anak tangga kemajuan itu, dari yang primitif ke yang maju. Masyarakat Eropa, dan terutama masyarakat industri maju, berada di anak tangga teratas. Ma- syarakat primitif, karenanya, dapat dilihat sebagai tahapan yang telah dilalui oleh manusia dan masyarakatnya, dan merupakan contoh dari masyarakat yang kurang maju dalam menjalani evolusi progresif. Sintesis antropologis pertama, seperti yang dikembangkan oleh E. B. Tylor dan L. H. Morgan, memberikan model semacam itu, dengan mengidentifikasi beragam tahap perkembangan-misalnya tahap gerombolan manusia purba, barbarisme, peradaban, atau tahap matrilineal dan patrilineal' atau tahap berdasar konsep ekonomi, seperti berburu dan bercocok tanam. 'Walaupun paradigma evolusi ini merupakan dasar antropologi modern, kontribusi utama dari para antropolog terhadap ide-ide abad ke-20 secara paradoks berasal dari penolakan terhadap paradigma tersebut. Karena sejumlah alasan, mulai dari pencarian eksotika sampai kebutuhan akan kekuasaan, antropologi membuka jalan ke observasi dan interaksi antara pengamat Eropa dengan masyarakat yang diamati. Ini berupa kontak dekat dan langsung, yang melahirkan perkembangan metode observasi partisipan sebagaimana digagas oleh para antropolog seperti B. Malinowski, A. R. Radcliffe-Brown dan E. E' Evans-Pritchard, yang berbeda dengan perspektif evolusi dan menimbulkan penolakan terhadap gagasan tentang kemajuan dalam masyarakat manusia. Pengalaman penelitian mendetail terhadap masyarakat non-Eropa menunjukkan bahwa masyarakat itu tidak sederhana dan tidak bisa diklasifikasikan dalam term evolusi. Misalnya, walaupun secara ekonomi bersifat sederhana, suku aborigin Australia merniliki sistem kekerabatan dan kosmologi yang kompleks. Lebih jauh, dengan mengganti konsep evolusi dengan konsep fungsional, tampak jelas bahwa struktur sosial dan organisasi ekonomi masyarakat non-Eropa tidaklahbersifat primitif, tetapi berfungsi sebagai sistem yang terpadu dalam setting sosial dan environmental tertentu. Misalnya, masyarakat acephalous di Nuer, Sudan Selatan, yang diteliti oleh Evans-pritchard, memiliki sisrem yang jauh dari primitif dan anarkis, tetapi memiliki masyarakat yang secara sosial berlapis-lapis di mana institusi garis kekerabatan, pola perkawinan, dan sist.;m peternakannya tertata dengan rapi. 'Walau banyak prinsip dari FuncrroNAl-tsM banyak yang telah ditinggalkan, gagasan bahwa variasi organsiasi sosial dan ekonomi manusia harus dilihat dalam term situasi ekologis spesifik, tradisi kultural, dan respons alternatif terhadap kondisi itu, masih menjadi gagasan yang penting, dan gagasan itu telah menyebabkan ditinggalkannya pandangan hierarki evolusi dalam masyarakar manusia baik di dalam antropologi maupun di bidang lain. Dari sini muncul pemahaman tentang tradisi kultural yang independen dan strategi sosial yang berbeda. Hal ini menimbulkan konsekuensi praktis bagi sikap terhadap perkembangan, di mana perubahan tidak lagi dilihar di luar konteksnya, dan iuga muncul pemahaman akan bahaya memaharni perubahan ekonomi tanpa mempertimbangkan konteks kulturalny,a. pemahaman ini juga merevolusionerkan sikap terhadap esretika dan seni, yang tarnpak dalam pertukaran ikon-ikon antara bentuk seni Barar dan seni lainnya.
Konsep antropologi sentral yang mendasari perubahan pandangan ini adalah CurruRH. Istilah ini mengandung banyak arti dan maknanya kerap berganti dari waktu ke waktu. Di satu level, kultur mengacu pada karakter:istik perilaku yang unik/khas bagi manusia. Istilah ini juga mengandung gagasan bahwa perilaku adalah sesuatu yang dipelajari dan diajarkan, bukan lahir secara instingrif. Perkembangan telah sedikit melemahkan pandangan itu setelah diketahui rernyara dikotomi dipelajari linstingtif dalam perilaku hewan adalah perbedaan yang ridak valid dan bahwa spesies lain juga mempunyai karakteristik yang dulu dianggap hanya milik manusia (seperti membnat alat). Level lainnya, kultur adalah karakter dari kemampuan manusia untuk menciptakan perilaku. Walau perilaku spesifik mungkin tidak khas hanya ada pada manusia, bagaimanapun juga kemampuan pikiran manusia untuk menciptakan respons yang fleksibel dan hampir tak terbatas melalui potensi simbolis dan linguistiknya telah menjaclikan manusia adalah spesies yang berbeda. Interpretasi atas kulrur belakangan ini lebih menekankan pada sumber kognitif dari perilaku manusia. Pada level lainnya ada pandangah bahwa perilaku itu terkait erat dengan relasi sosial dan karakteristik sosial lainnya. Dan terakhir, hasil dari proses ini adalah fenomena kebudayaan manusia yang dapat diamati secara empiris-identitas tersendiri dari masyarakat manusia, yang dicirikan oleh tradisi kultural yang spesifik. Pengakuan akan diversitas kultur manusia dan subkultumya rrenlpakan langkah konseptual urama yang muncul dari praktik antropologi sosial-studi detail terhadap masyarakat terrentlr (etnografi). Di antara implikasi urama dari studi terhadap orang dalam unit-r.rnit kultural dan konteks kultural adalah pengakuan bahwa orang saling terikat bukan berdasarkan identitas (kesamaan) genetik atau biologis, tetapi berdasarkan tradisi sosial, dan bahwa Enrrvrcrrv adalah faktor urama dalam hubungan antara orang dan masyarakat. Lebih jauh, kultur bukan sekadar akibat pertumbuhan tradisi sosial, tetapi juga terkait erat dengen seluruh sistem kognitif sehingga pengalaman kultural ini akan membatasi dan memengaruhi cara pandang or:ang terhadap dunia. Indepenclensi tradisi kultLrral ini mernberikan dampak besar terhadap kemampua-n komunikasi konsep dan niiai antarmasyarakat yang Relatitkme kultural Problem translasi lintas kultur telah melahirkan pandangan tentang relativisme kultural. Dalam satu pengertian, ini adalah reaksi ekstrem terhadap gagasan evolusi progresif, yang menganggap masyarakat dan kultur dapat diurutkan dari masyarakat primitif hingga ke masyarakat maju. Relativisme kultural berkembang dalam antropologi sosial sebagai ialan untuk menekankan pada sulitnya membuat perbandingan antar kultur dan tidak adanya kriteria independen untuk membuar penilaian tentang nilai relatif dari tradisi sosial yang berbeda-beda. Pada titik ekstrem, relativisme kultural mengandung pendapat bahwa sebuah kultur hanya dapat dilihat di dalam konteks tradisi dan logika kultural itu sendiri. Pada level praktis, hal ini menimbulkan konsekuensi penting dan positif bagi cara mengkaji problem ras dan etnis, dan juga melahirkan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai, sistem pengetahuan dan kosmologi di seluruh dunia. Efek negatifnya adalah diabaikannya pendekatan komparatif yang menjadi dasar antropologi, melahirkan kecenderungan menuju partikularisme historis, dan menimbulkan pandangan yang mendua tentang universalitas manusia. Kesatuan spesies manusia Sementara antropologi sosial menolak pendekatan evolusionis yang didasarkan pada pandangan tentang kemajuran masyarakat manusia, ada tren yang agak berbeda muncul di dalam antropologi biologis. Karya-karya baru tentang sejarah Darwinisme menunjukkan bahwa meski banyak pengikut Darwin melihat adanya elemen kemajuan, tetapi dia sendiri menyadari bahwa kemajuan itu ridak selalu terjadi, dan argumen seleksionisnya (lihat NRtunRr. selEcnoN) memprediksikan adanya diversitas adaptasional bukan perubahan unilinier. Dan, karena alasan itulah kebanyakan evolusionis di abad ke-19 dan awal abad ke-20 meninggalkan reori seleksi tapi terap mempertahankan perspektif evolusi. Namun, konsep evolusi utama dari Darwin-modifikasi dalam keturunan-memberikan solusi sederhana bagi banyak problem besar, problem monogenesis atau polygenesis. Penemuan orang yang berbeda-beda di Amerika dan belahan lain dunia telah menimbulkan pertanyaan bagi ilmuwan pra-Darwinian tentang apakah orang-orang itu berasal dari satu leluhur atau makhluk tunggal, atau apakah mereka adalah produk dari beberapa tindakan penciptaan. Kubu monogenesis menyebut adanya kesatuan semua manusia, sedang polygenesis membuka kemungkinan bahwa beberapa bentuk manusia sebenarnya bukan bagian dari penciptaan manusia yang diseburkan dalam sejarah biblikal (Injil). Kenyataan adanya evolusi, terlepas dari mekanisme perubahannya, menyebabkan para antropolog mampu menunjukkan bahwa semua manusia berasal dari satu leluhur, dan semua manusia termasuk satu spesies. Karya-karya biologi selanjutnya menunjukkan fertilitas dari semua manusia. Jadi pendekatan biologi untuk antropologi membuka jalan bagi pandangan dominan abad ini, yakni bahwa manusia itu satu dan memilikiwarisan biologis yang serupa, dan kesamaan ini jauh lebih banyak ketimbang perbedaannya. Penerimaan kesatuan spesies manusia ini sekarang menjadi konsensus dasar yang membentuk basis dari banyak ide yang melampaui gagasan biologi semata. Keragaman manusia Jika para antropolog sosial fokus pada diversitas bentuk kultural manusia, para antropolog biologis melihat pada diversitas biologis. Salah satu implikasi dari struktur proses evolusi manusia adalah bahwa populasi manusia dapat dibagi menjadi unit-unit diskret, merepresenrasikan daerah geografis atau tahap evolusi. Diversitas manusia, terutama dalam ciri-ciri seperti tlvarna kirlit dan bentuk wajah, memperkuat pandangan tersebut, dan menjadi basis bagi analisis variasi manusia berdasarkan Racn (ras). Konsep sentral dalam studi diversitas biologis manusia di sepanjang abad ke-L9 dan 20 adalah ras. Kebanyakan antropolog memandang bahwa ras manusia merepresentasikan perbedaan dalam manusia yang dimulai sejak zaman purba, dan karenanya ras bisa dilihat sebagai tahap perkembangan, dan ras biologis itu terkait dengan karakteristik sosial dan kultural. Ras menyediakan kategorisasi manusia secara horizontal (misalnya geografis) dan vertikal (misalnya dalam kurun waktu). Maka, tujuan utamanya adalah mendokumentasikan proses historis ini melalui studi arkeologi dan sampel fosil. Ras juga dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan perbedaan dalam pola-pola perkembangan. Di awai abad ke-20, antropologi sosial rneminjam dasar-dasar biologi untuk memperluas gagasan tentang ras dan untuk menopang teori EuceNrcs dan NartoNAL soctAllsv. Sampai Perang Dunia II ras merupakan konsep sentral dalam studi biologi manusia dari perspektif antropologi dan evolusi. Situasi ini berubah total setelah perang, dan bahkan sebelum perang ahli biologi seperti A. C. Haddon dan Julian Huxley telah sangat kritis terhadap pandangan tentang ras itu. Dalam antropologi yang,sekarang, ras tidak lagi dianggap sebagai konsep analitis dan biologis yang berguna. Sebagian alasannya adalah munculnya reaksi mencntang penggtlnaan argumen biologi untuk menjustifikasi tindakan politik. Yang juga penting adalah perkembangan Neo-n.tnrtrNlsM yang menunjukkan bahwa tidak ada basis biologis untuk memandang variasi dalam satu spesies sebagai tahap evolusi atau kategori diskret. Lebih jauh, studi yang lebih langsr-rng terhadap genetika ketimbang variasi fisik telah menunjukan bahwa variasi geografis arnatlah kompleks de,n karenanya nlenuniukkan bahwaciri-ciri selekti{ seperti pigmentasi (kulit) bukan merupakan kriteria Tembedakan res. Akibatnya, karya terbaru cialam antropologi bioiogis menunjukkan bahrva ras bukan konsep biologis yang berguna. Antropologi biologis beralih ke upaya menguraikan basis fungsional dan adaptif (penyakit, iklim, ekologi) dari variasi manusia.
Evolusi manusia
Perkembangan genetika modern telah menunjukkan bahwa spesies manusia adalah spesies yang rnasih baru, bahwa semua manusia modern memiliki leluhur yang sama, dan karena itu setiap pola geografis yang dapat dilihat tidak menandakan perbedaan mendasar dalam diri manusia tetapi lebih merupakan produk dari migrasi dan adaptasi lokal. Kontribusi antropologi terhadap ide-ide abad ke-20 ini, karenanya, mengembalikan perhatian pada evolusi, tetapi dengan penekanan yang berbeda. Evolusi tidak menunjukkan tangga kemajuan (ltrogress\ namtln merupakan sumber diversitas, dan alih-alih merunut manusia ke masa silam, pendekatan ini lebih menekankan pada betapa masih mudanya spesies manusia ini dan, karenanya, menekankan pada kesamaan (uniry) populasi manusia. Tetapi, dengan latar belakang ini, para spesialis dalam evolusi manusia juga mendokumentasikan masa kepurbaan (lebih dari lima juta tahun lalu) dan kompleksitas garis keturunan yang beragam yang memunculkan manusia modern sekitar 100.000 tahun lalu.
Antropologi modem
Dengan perkembangan antropologi selama abad ke-20 dan pergeseran meniauhi upaya pendokumentasikarn pola historis, para antropolog sekarang mdngalihkan perhatiannya pada persoalan yang lebih luas dan semakin rnemiliki aplikasi praktis. Para antropolog sosial mulai memfokuskan pada hubungan antara proses kulttrral dan ekonomi, politik dan sosiologi, yang lebih menekankan pada aspek kultural dari kognisi. Lebih jauh, perubahan mencolok dalam masyarakat tradisional yang diteliti antropolog teiah menyebabkan mereka makin terlibat dalam problem perkembangan dan kelangsungan hidup inasyarakat itu, dan antropologi memberi kontribusi pada kesadaran akan hubungan antara kultur dan aspek lain dari perkembangan. Para antropolog biologis jugu semakin banyak meneliti problem penyakit dan gizi di Dunia Ketiga, memberikan pemahaman yang lebih luas tentang aspek populasi dari problem ekologis yang kini dihadapi hampir semua umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.