Kedua disiplin ilmu ini-studi
masa lalu manusia melalui peninggalan
purbakala, dan sebagian kajiannya adalah
pada periode sebelum ada tulisan-adalah
bidang studi yang relatif baru. Istilah
"arkeologi" pada abad ke-18 dipakai un-
tuk mendeskripsikan studi kebudayaan du-
nia kuno, terutama Yunani dan Romawi.
Istilah itu merujuk pada sebentuk kaiian
ilmiah atas seni-historis yang terkait erat
dengan penelitian dan pengumpulan karya
seni (kerajinan), dan kebanyakan rergan-
tung kepada eksistensi bukti tekstual un-
tuk kepentingan penjelasannya. Kronologi
biblikal mengandung petunjuk periode
pra-tulisan. Walaupun para filsuf Pencera-
han mendiskusikan persoalan yang lebih
luas tentang masa lampau, seperti asal usul
pertanian dan peradaban, mereka melaku-
kannya berdasarkan pada etnografi kom-
paratif darl tanpa merujuk pada arkeologi.
Hanya melalui gerakan Romantiklah ke-
budayaan pra-tulisan mulai menjadi per-
hatian tersendiri, yang sering kali kajian
ini diletakkan dalam konteks nasionalistis
yakni untuk mengetahui asal usul bangsa-
bangsa di Eropa. Akurnulasi peninggalan
prasejarah menyebabkan ahli-ahli pur-
bakala Skotlandia mempostulatkan ta-
hap-tahap teknologi yang berurutan yang
masing-masing dicirikan oleh penggunaan
alat-alat dari batu, perunggu dan besi; wa-
laupun "tiga zaman" ini diyakini sezaman
dengan peradaban Mediterania yang telah
mengenal tulisan.
Cakupan arkeologi menjadi jelas pada
akhir abad ke-19 dengan berkembangnya
geologi dan munculnya penolakan terha-
dap kronologi biblikal, serta merebaknya
penghargaan terhadap gagasan evolusi
dalam biologi (lihat Evor-urroN). Gagasan
prasejarah, karenanya, merupakan per-
kembangan yang relatif baru, terkait erat
dengan pertumbuhan ANrHRopoLocy. Ar-
keologi klasik terus berdiri sebagai disiplin
tersendiri, walaupun penggalian-penggali-
an di Yunani dan Turki (di situs-situs se-
perti Mycenae dan TroS yang terkenal
dalam mitologi kuno) mengungkapkan
adanya eksistensi Zaman Perunggu yang
mendahului peradaban klasik. Zaman
Batu diakui sebagai periode yang cukup
panjang, berkaitan dengan fase evolusi
manusia sebelumnya yakni ketika manusia
masih bergantung pada kegiatan berburu
(masa Palaeolitik atavZaman Battr Lama)'
dan iuga berkaitan dengan tahap awal
bercocok tanam (Neolitik atau Zaman
Batu Baru). Etnografi kornparatif kini
dikaitkan dengan catatan peninggalan
material, dan subjek baru itu disebut
(kadang dengan enggan) "prasejarah"'
yang sama dengan istilah dalam bahasa
bropu I ainnya (p r,6h i st o ir e; Vo r ge s ch i ch t e)'
Metodenya memiliki potensi aplikasi yang
global, tetapi subjeknya didominasi oleh
peninggalan-Peninggalan EroPa'
Namun, Pada abad ke-20, interPre-
tasi yang ilmiah, liberal, dan evolusioner
terhadap seiarah manusia membuka jalan
bagi penekanan nasionalistis baru yang
dii;in;i dengan pemisahan arkeologi dari
urrtropologi. Praseiarah (yang dalan-r ba-
hnr, 1.r-nn disebut Urgeschicbfe' untuk
menuniukkan kontinuitasnya dengan
masa historis) diinterpretasikan dalam
term migrasi orang tertentu, atau difusi
(penyebaran) kultur dari pusat-pLrsat ke-
bod"yn"r, seperti Mesir kuno' Antropologi
beralih dari upaya rekonstruksi historis ke
observasi langsur-rg dan deskripsi, dengan
perhatian pada interpretasi fungsionalis'
walaupun eksplorasi arkeologis di benua
lain telah menemukan banyak bukti baru'
studi terhadap area individual cenderr'rng
berkembang sebagai spesialisasi tersendiri'
Salah satu dari sedikit arkeolcg yang meng-
anlrt pandangan yang lebih luas adalah ahli
prasejarnh V. Gordon Childe (1892-1'957)'
yang kaiiannya atas masa prasejarah Eropa
dnn Ti-ut Dekat dimotivasi oleh keingi-
nan untuk melepaskan diri dari penekanan
nasionalistis yang di-lakukan oleh banyak
sariana Jerman melalui eksplorasi model
Marxis. Dia menghidupkan kembali keter-
tarikan terhadap asal usul kegiatan berco-
cok tanam dan peradaban (dan iuga abad
Pencerahan), yang dianggapnya sebagai
revolusi ekonorrri yang arti pentingnya se-
tara dengan Revolusi Industri' Dia iuga
*en.iptnkun istilah Revolusi Neolitik
dan Revolusi Urban' Ide-ide ini clijelaskan
dalanr clua karya klasiknya, Man Makes
Himself (pada 1,936) dan What Happened
in Historyi (pada 194L), yang termasuk
dari sedikit buku yar.rg sukses menjadikan
bukti arkeologis sebagai perhatian teoretisi
sosial di luar subiek ini.
'Walaupun Childe pLrnya kecenderu-
ngan Marxisme dalam politik dan dia
banyak menekankan pada materialisme
historis, teori-teorinya berbeda dengan
teori dari sejarawan Marxis di Inggris'
Childe melihat bahwa peran manaierial
diemban oleh kelompok elite sekuler, se-
dangkan agama dianggapnya merupakan
kekuatan penghambat utama atas kema-
juan teknologi. Dia mengombinasikan visi
Hegelian aths peran peradaban Oriental'
ftasit<, dan Barat dengan pandangan difu-
sionis mengenai seiarah teknologi, untuk
menghasilkan model sosial yang canggih di
mana inovasi yang menghasilkan masyara-
kat urban awal dihalangi oleh sentralisasi
potitik. Tetapi, walau begitu inovasi itu
,.,"p ,-,t.rrrberi basis bagi perkembangan
*"ryn.uk"t selaniutnya yang mengarnbil
teknik-teknik tersebut tanpa membaytrr
biaya sosial. Model ini (yang dipengaruhi
ol.i, .o,-ttoh baru seperti industrialisasi di
Jepang) menurutnya dapat menielaskan
tarakteristik unik dari masyarakat Eropa
Barat, dan menunjukkan perbedaan antara
kultur "Oriental" dan "Barart" seiak Za-
man Perunggu. Valaupun banyak aspek
clari ide-ide ini dipengaruhi pernikiran abad
ke-19, namun ide-ide itu tetap menandai
k.*"1uor-, besar dalam penielasan metafi-
sis tentang keieniusan rasial atau nasional
yang banyak berkembang dalam diskursus
arkeologis kontemporer; dan icle-ide itu
merupakan Prestasi luarr biasa'
Sutat't sait, faktor yang merintangi arke-
ologi untuk mengeksploitasi potensi bukti-
buktinya guna memberi kontribusi pada
ilmu sosial yang lebih luas adalah posisinya
yang rnarginal di universitas' I(ebanyakan
praf,tisi bid,.ng ini bekeria di museum dirn
lembaga-lembaga yang ruengurusi motru-
men kuno, ataLr sebagai penggali benda
purbakala freelauce demi mendapatkan
u",ng. Eksprnsi pendidikan tinggi seiak Per-
ang Dunia II, karenanya, memberikan efek
besar terhadap sifat diskursus arkeologis,
yang untuk pertama kalinya memasukkan
komponen metodologi dan teoretis pent-
ing serta laporan penggalian dan diskusi
materi-materi peninggalan purba utama.
Karena kajian arkeologi atas area dan peri-
ode purba yang dilengkapi bukti tekstual
kebanyakan berasal dari jurusan studi
sejarah dan studi sejarah klasik atau Ori-
ental, maka pemicu utama adanya analisis
komparatif adalah dari studi prasejarah,
yang sering kali (dan terutama di AS) di-
lakukan di bawah payung arkelologi. Ge-
rakan ini, yang pada akhir 1960-an dike-
nal sebagai "arkeologi baru", karenanya,
merupakan fenomena Amerika Utara dan
Inggris, yang menjalar ke negara-negara
berbahasa Inggris dan Eropa utara, tetapi
tidak ada di Jerman (dan Jepang) di mana
penjelajahan intelektualnya terhambat
oleh pengalaman perang; dan gerakan
ini jarang terlihat setidaknya selama saru
dekade dalam arkeologi klasik. Beberapa
inovasi serupa muncul di USSR, walaupun
dibatasi oleh kebutuhan ortodoksi politik;
sedang pemikiran baru di Perancis meng-
ambil bentuk yang berbeda, yang sejak se-
mula kurang simpatik gerakan tersebut.
Arkeologi baru ini dicirikan oleh
upaya memperluas subjek dengan meman-
faatkan disiplin ilmu lain, dan juga oleh
keinginan untuk berpartisipasi dalam de-
bat disiplin lain tersebut. Meski gerakan
ini memberikan kemajuan penting dalam
metodologi (yang sering berasal dari area
teknologi baru di luar subjek kajian, se-
perti kajian radiokarbon dari studi fisika
nuklir), ia cenderung lebih menyerap dan
mereproduksi teori-teori ketimbang meng-
hasilkan teori sendiri; dan ia sejalan den-
gan semangat gerakan kontemporer dalam
ilmu sejarah dan ekonomi-misalnya
perhatian pada Ecolocy dan Dntrocnn-
luv. Komputer dan Sysrnu lr-lEoRy menye-
diakan lingua franca-nya. Seperti sejarah
Braudelian (lihat ANNALES scHoor-), arke-
ologi baru lebih berkonsentrasi pada pro-
ses ketimbang kejadian-dan karenanya
ia punya nama alternatif yakni arkeologi
prosesual. Agar tidak dicap terpisah dan
khusus (terutama agar tidak menghasilkan
" pseudo-history "), gerakan ini mengklaim
menggunakan merode yang lebih ketat-
terutama metode kuantitatif-yang dapat
merekonstruksi masyarakat prasejarah
dan informasi teknologi masa prasejarah.
Di antara inovasi metodologis dan kon-
septualnya adalah ide taksonomi numerik
untuk klasifikasi arrefak, sampling spasial
untuk merekonstruksi pola-pola tempat
tinggal melalui survei lapangan di daerah
penemuan benda purbakala, rekonstruksi
lingkungan dan pola makan berdasarkan
temuan sisa-sisa hewan dan tanaman pur-
ba, pola perdagangan berdasarkan identi-
fikasi materi mentah, dan struktur sosial
dari berbagai ienis artefak yang tersimpan
di bebatuan/kuburan kuno.
Meskipun upaya ini menghasilkan
informasi baru, namun interpretasinya
sering naif, dan dibatasi oleh paradigma
antropologi evolusi-baru yang dikembang-
kan oleh Herbert Spencer (1820-1903).
Penjelasannya biasanya dititikberatkan
pada tekanan populasi dan intensifikasi
pertanian (yang menggemakan ide Esther
Boserup mengenai perkembangan ekono-
mi), pencapaian kolonisasi dan ekspansi,
spesialisasi ekonomi dan formasi hierarki
sosial, serta kemunculan tempat-tempat
utama (yang menggemakan tema dalam
"geografi baru"-lihat juga HuueN ce,
ocneluv). Tema-tema umum ini ternyata
mendasari kemunculan kota-kota dan
daerah pertanian, dan iug" mendasari
perkembangan masyarakat manusia di se-
luruh dunia-sebagai urutan evolusi dari
kelompok menjadi suku, lalu pusat pemer-
intahan, kemudian negara.
'Walaupun menggunakan teknologi,
metode statistik dan informasi yang baru
dan lebih bermutu, interpretasinya menun-
jukkan kesamaan dengan pandangan
dari penulis era Pencerahan seperti Adam
Smith (yang sama sekali tidak kenal arke-
ologi). Dalam menjelaskan model kom-
paratif, yang didasarkan pada gagasan
evolusi, karya semacam itu menghasilkan
serangkaian studi kasus yang mengasumsi-
kan adanya perkembangan lokal yang ter-
pisah (otonom) dan tidak sensitif terhadap
struktur lebih besa r yang dipostulatkan
oleh Gordon Childe. Difusionisme diting-
galkan oleh kerangka ini sebab difusion-
isme sulit dikuantifikasi dan tidak punya
tempat dalam paradigma ini. Dalam hal ini
arkeologi baru menyerupai ilmu ekonomi
pembangunan pada era 1960-an; dan se-
lama 1970-an, arkeologi baru dikritik
dengan cara yang sama seperti teori mod-
ernisasi dikritik oleh teori keterbelakangan
Marxis dan teori sistem dunia, yang diaso-
siasikan dengan Andre Gunder Frank dan
Immanuel'Wallerstein (lihat DevELopMENT
AND UNDERDEVELoIMENT). Ifalaupun kon-
sep keterbelakangan terbukti tidak bisa
diaplikasik an (inapplicable) untuk konteks
awal, ide tentang wilayah inti (core) dan
pinggiran (periph ery) menghidupkan kem-
bali studi hubungan antara populasi urban
dan daerah pedalaman yang buta huruf,
dan terutama hubungan perdagangan yang
tidak sejajar (asimetris) di antara keduan-
ya-misalnya anggur Romawi kuno yang
diperdagangkan dengan Celtic. Konsep
dasar "prasejarah" dianggap tidak tepat
dikenakan pada Zaman Besi akhir, sebab
masyarakat "beradab" dan "barbarian"
membentuk sebagian dari sistem ekonomi
yang sama. Kesukuan mungkin merupak-
an fenomena tersendiri, bukan salah satu
tahap evolusi.
Yang lebih mendasar, pada era 1980-
an, kebudayaan marerial itu sendiri dilihat
memiliki arti penting tersendiri, bukan
sekadar merefleksikan perbedaan ekolo-
gis dan struktur sosial abstrak. Keinginan
untuk memiliki barang dapat menjadi
alasan kuat dari munculnya perubahan
karena makin banyaknya populasi dan
berkurangnya kesuburan tanah. "Barang-
barang mewah" dari Eropa yang beredar
di kawasan sub-Sahara Afrika menjadi
komponen dari kekuasaan kepala suku
setempat yang memonopoli suplainya
dan menggunakannya untuk melegitimasi
kekuasaannya. Demikian pula, mungkin
intensifikasi produksi pertanian di masa
prasejarah Eropa akhir dipicu oleh keterse-
diaan barang-barang dari Mediterania. Ke-
pala suku bukan pemelihara dan manajer
sistem ekonomi, tetapi sebagai pengeksploi-
tasi dan pemilik monopoli; dan kekuasaan
ini juga mencakup dalam hal pembuatan
kerajinan logam yang membutuhkan ba-
han baku yang mahal dan jarang. Tetapi
jika struktur sosial bukan hierarki absrrak,
tetapi lebih merupakan bermacam-macam
ilusi yang diciptakan sekelompok orang
untuk meyakinkan pengikutnya, seberapa
jauhkah kemungkinan dilakukannya studi
komparatif? Apakah setiap ..struktur,,
sosial adalah unik, baik dalam hubungan-
hubungannya, simbol-simbolnya, dan ma-
teri-materinya? Jika interpretasinya sangat
mudah berubah (uolatile) dan tergantung
pada konteksnya, bisakah diajukan inter-
pretasi yang meyakinkan? Apakah teori
arkeologi lebih banyak berbicara tentang
masa sekarang ketimbang masa lampau?
Dalam hal ini arkeologi mengikuti ling-
karan perkembangan ilmu sosial, dari
komparativisme dan determinisme di era
L960-an, ke relativisme dan pandangan
dekonstruksi dalam postmodernisme di
akhir era 1980-an (lihat MooERNrsM AND
POSTMODERNTSM).
Angst seperti ini tidak universal. Di se-
luruh dunia, ada banyak orang, pria dan
wanita, yang mencatat stratigrafi, mene-
mukan peninggalan benda kuno serta
bukti lainnya untuk dikaji di laboratorium,
memperbaiki data, mencari korelasi, me-
munculkan ide yang membantu memahami
apa-apa yang mereka temukan. Beberapa
ide itu adalah baru, beberapa lainnya lama:
para arkeolog klasik kini menemukan teori
utama, dan mengkaji apa-apa yang dikaji
ahli prasejarah di era 1.960-an. Jika tidak
ada pemahaman final atas masa sekarang,
maka jelas tidak akan ada pemahaman fi-
nal atas masa lalu; kita masih harus men-
gumpulkan lebih banyak lagi pengetahuan
dibandingkan yang sudah dilakukan satu
dekade lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.