Sistem transportasi bus cepat atau bus rapid transit yang
sukses di Bogota, Kolombia, menginspirasi pemerintah DKI Jakarta untuk
menerapkan sistem yang sama. Jadi, pada 2004 jalan raya Jakarta kedatangan
penghuni- penghuni baru: unit-unit bus transjakarta.
"Waktu pertama kali transjakarta muncul kami senang
banget. Transportasi jadi lebih mudah karena setiap mendekati halte tujuan ada
fasilitas audio visual yang memberitahu di halte mana bus transjakarta akan
berhenti. Kami tidak kebingungan di mana harus turun," ujar Jaka Ahmad,
seorang tunanetra yang kini menjadi salah satu anggota Dewan Transportasi Kota
Jakarta (DTKJ).
Sayangnya, hal itu dikatakan Jaka tidak bertahan lama.
Fasilitas audio visual kini kerap tidak berfungsi. Selain itu, fasilitas lain
yang semestinya tersedia untuk penyandang disabilitas juga belum optimal
diterapkan.
Penyandang tunanetra sering kesulitan ketika jarak bibir
halte dengan berhentinya bus terlalu lebar. Bahkan, seorang tunanetra pernah
terperosok karena hal ini. Di beberapa halte, level halte tidak sejajar dengan
bus sehingga pengguna kursi roda harus dipapah untuk masuk ke dalam bus.
Karena keterbatasan tubuhnya, penyandang disabilitas
terhambat ketika ingin mengakses halte transjakarta. Jalan menuju halte
transjakarta kebanyakan tangga, tidak ada ramp untuk kemudahan aksesibilitas
pengguna kursi roda. Padahal, menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Penyandang
Disabilitas, selain tempat duduk dan tanda- tanda, ramp adalah fasilitas yang
wajib tersedia untuk aksesibilitas angkutan umum.
Untungnya, bantuan untuk penyandang disabilitas kerap datang
dari beberapa petugas transjakarta. "Di koridor empat, pengguna
transjakarta yang merupakan penyandang disabilitas kebetulan cukup banyak.
Petugas di sana pun sudah tahu cara mendampingi penyandang disabilitas,"
jelas Jaka. Saat ini juga sudah ada sabuk pengaman untuk orang dengan kursi
roda di dalam bus transjakarta. Satu langkah yang ramah pada pengguna kursi
roda.
Departemen Badan Kesehatan Dunia (WHO) berasumsi sepuluh
persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Mereka punya hak yang
sama dengan warga nondisabilitas untuk mendapatkan pelayanan yang baik,
termasuk pada sarana transportasi umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.